DONAT
Fatma meletakkan HP bututnya di meja, lalu menyandarkan punggungnya perlahan. Tatapannya menerawang, segala beban terpikirkan.
Grup WhatsApp kelas anaknya mengabarkan, bahwa tak lama lagi pembelajaran tatap muka akan dimulai.
Bukan tak senang, dia senang, sangat senang. Akan berakhir drama mengesalkan tiap kali gurunya memberi tugas. Akan berakhir kesibukannya yang harus ekstra menemani si sulung belajar dari rumah. Akan berakhir pula episode marah-marah karena si sulung terbilang lambat dalam memahami pelajaran.
Itu kabar menyenangkan.
Tapi itu juga berarti, dia harus membeli perlengkapan sekolah baru. Mulai dari tas, sepatu, kaos kaki, seragam, kerudung, bahkan buku. Sementara pandemi ini belum lagi menormalkan perekonomian keluarganya yang jatuh.
Suaminya hanya buruh kuli, gajinya seminggu sekali. Cukuplah untuk menanak nasi.
Sementara dia hanya ibu rumah tangga biasa, bahkan tak punya ijasah SMA.
Bisanya hanya mencuci baju tetangga, itupun kalau ada.
Belum lagi kebutuhan si kecil yang tak bisa ditunda. Fatma sudah berusaha berhemat. Mencampur susu formula dengan sedikit gula, dan memakaikan diapers di malam hari saja.
Tapi nyatanya, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bisa makan saja sudah Alhamdulillah. Asal ada nasi dan garam di dapur, semua masih bisa diatur. Masalah sayur, dia masih bisa mencari kangkung di sawah, atau mengolah pepaya mentah menjadi lauk.
Hanya saja, sekarang persediaan beras juga mulai menipis. Sementara uang sudah hampir habis.
Fatma memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Tak tahu harus bagaimana lagi. Uang belanja duapuluh lima ribu sehari, tak cukup untuk menabung keperluan mendadak seperti ini.
Perempuan berambut lurus itu melangkah ke dapur, menyusuri setiap sudutnya yang mulai menjadi sarang laba-laba. Lalu tatapannya tertuju pada sebungkus tepung. Sebuah ide muncul. Ia pun tersenyum.
***
Fatma memotret kue donat yang ditaburinya dengan misis warna warni, berharap itu bisa menarik pembeli. Dengan bahan apa adanya sisa acara pernikahan keponakannya Minggu lalu, Fatma menyulapnya menjadi donat aneka rasa. Siapa tahu ini bisa menjadi jalan rejeki.
Bukankah Tuhan tidak pernah tidur?
Bukankah Tuhan punya banyak cara untuk memberi jalan keluar dari setiap masalah hambaNYA?
Fatma percaya, semua akan indah pada waktunya.
Berbekal basmalah, dia mulai mempromosikan dagangannya. Mengirimnya ke sosial media dan menawarkan pada beberapa teman dan kerabat.
Ada yang mau membeli, tapi hanya sebiji.
Tak apa, pikirnya. Semoga akan menyusul berikutnya.
Lagi, dia mencoba menawarkannya pada salah satu grup WA. Besar harapannya agar ada yang sudi membeli. Semakin banyak yang tahu, akan semakin membuka peluang dagangannya laku.
"Donat aneka rasa, siap antar kapan saja. Yang minat bisa japri, ya ..." Begitu tulisnya sambil menyematkan emoticon senyum ramah.
Sepuluh menit kemudian, sebuah balasan datang. Hatinya senang, sebuah harapan terkembang.
"Gak mau, ah. Enak bikin sendiri." Begitu pesan itu tertulis. Fatma tersenyum, pahit.
Tak apa, masih pertama, pikirnya.
"Tapi kalau gratisan, aku minat." Begitu isi pesan berikutnya, dari nomor yang sama.
Tak lama, nomor yang lain bermunculan. Tiba-tiba grup WA itu menjadi ramai, minta gratisan.
Hatinya ciut meringis. Menyisakan rasa nyeri yang terasa sakit.
Tak apalah meski tak membeli, tapi setidaknya jangan membunuh harapan, apalagi minta gratisan.
Fatma mengusap air mata yang mengalir tanpa terasa.
Tak apa, pikirnya.
Mereka tak tahu saja, bahwa dalam rupiah yang mereka bayar untuk donatnya yang murah, ada harapan demi mencari nafkah.
Mereka tak tahu saja, bahwa dalam sebiji donat yang dia buat dengan keringat, ada perut yang terpaksa harus diikat.
Dua hari kemudian, donatnya masih tersisa sebagian besar.
Andai dia tahu akan demikian, tak akan dia larang kedua anaknya yang meminta jatah makan, dari pada harus terbuang ke selokan.
Jember, 22 September 2021
keren
BalasHapus