BADUT
Dari sini, aku bisa melihatnya dengan jelas.
Sepasang
suami istri yang nampak begitu bahagia, tengah duduk bersila di atas tikar
lusuh yang disediakan si penjual kopi asongan. Mereka saling berbincang, penuh
kehangatan. Sesekali tertawa sambil tersenyum, bahkan tersipu merona. Tak jauh
dari sana, sepasang anak kecil berbeda usia sedang bermain gelembung udara.
Meski saling bercerita, mereka tetap awas pada dua buah hatinya.
Melihat kedua putra putrinya begitu bahagia, si ayah ikut bergabung, meniup gelembung sebanyak ia bisa. Lalu dengan bahagia kedua bocah itu mengejarnya.
Masih di tempat duduknya, si ibu mengambil gambar dengan smartphone nya, atau mengabadikannya dengan video.
Keluarga yang sungguh bahagia.
Aku
pernah sebahagia itu, dulu.
Membawa istriku jalan-jalan, mengejarnya sampai kelelahan. Lalu memapahnya kembali pulang.
Aku
pernah sebahagia itu.
Menghabiskan sore bersama di pematang sawah milik mertua. Menikmati secangkir kopi dan sepiring singkong yang direbus dengan gula merah. Saling bercerita tentang banyak sekali sejarah.
Aku
pernah sebahagia itu.
Menikmati setiap derai tawa yang selalu mewarnai hari-hariku.
Tiga tahun menikah, kami hidup bahagia meski tanpa anak. Perekonomian yang sulit tidak lantas membuat Dewi berpaling. Dia selalu ada untukku, menemani setiap langkahku.
Tapi bagaimanapun juga, sebagai suami aku harus membahagiakan Dewi. Cukuplah tiga tahun dia hidup dalam kekurangan, dia berhak untuk hidup layak.
"Gak usah, lah, Bang. Cari kerjaan disini aja." Begitu katanya saat aku meminta ijin untuk merantau.
"Kalau cuma bertahan di kampung, mau dapat apa kita, dik? Selamanya akan tetap seperti ini."
"Aku tak pernah menuntutmu lebih, bukan? Aku merasa cukup dengan seperti ini."
Aku
menghela nafas dalam. Kalimat itu selalu teringang, kalimat yang dilontarkan
oleh kakak ipar.
"Dari kecil, Dewi tak pernah kekurangan. Dia adalah kebanggaan kami, kesayangan kami. Setelah menikah, kami pikir dia akan hidup lebih layak," ucapnya dengan nada menyindir. Aku tahu diri, aku mengerti.
"Setidaknya, aku akan mengembalikan kalungmu yang sempat kujual, dik." Aku tetap mengemas barang. Dewi diam, pasrah dengan keputusanku.
Aku memilih untuk merantau ke kota seberang, mengikuti jejak Pak Ramli. Aku tetap pergi dengan bekal seadanya.
Masa itu, tak ada sosial media yang kami punya. Jangankan hp jadul, bisa makan saja sudah untung.
Aku menahan rindu yang mendalam, ingin rasanya pulang, tapi belum punya cukup uang. Lagi pula, ini kan untuk masa depan kami juga. Begitu egoku berkata.
"Dewi itu cantik. Tenang sekali kau meninggalkannya sendiri. Kau yakin dia tak akan selingkuh?"
Aku diam, mencerna ucapannya. Sedikit banyak, itu mengusik pikiranku.
"Atau setidaknya, digoda oleh lelaki hidung belang. Dewi 'kan pernah menjadi bunga desa."
Aku gamang, tapi masih berusaha yakin bahwa dugaannya tidak benar.
Tujuh bulan kemudian, aku pulang tanpa memberi kabar. Maksudku, untuk memberi kejutan. Dewi pasti senang. Sudah kukumpulkan banyak uang, lebih dari cukup untuk sekedar membeli kalung dan gelang. Nanti Juga akan kuhantarkan sekarung beras untuk ibu dan mertua, cukuplah untuk makan sebulan.
Tapi saat sampai di rumah, justru aku yang terkejut. Dewi menyambutku dengan perut buncit.
Hatiku panas. Marah dan cemburu menguasai pikiranku. Benar kata pak Ramli, seharusnya aku tak meninggalkan Dewi sendiri.
Dia
memelukku sambil menangis tersedu,
"Mas,
aku hamil."
Aku bergeming, tangan mengepal, menahan emosi yang tiba-tiba membakar hati.
Menyadari
reaksiku, Dewi melepas pelukannya.
"Mas …" perempuan itu mencari sorot mataku.
"Katakan siapa ayah dari anak itu!"
"Apa maksud kamu? Tentu saja kamu, Mas."
Aku
menghempaskan tangannya kasar.
"Bohong! Benar kata orang-orang, kau tak ada beda dengan pe la cur. Kau melakukan ini demi uang, kan?!" Aku berdesis, membuat kedua mata Dewi membelalak tak percaya.
"Tega sekali kamu, mas …" tangisnya semakin menjadi.
"Kau yang tega! Aku merantau Demi kamu, agar kamu hidup senang. Nyatanya, kamu malah bersenang-senang dengan laki-laki lain."
Aku membanting pintu rumah dengan kasar, meninggalkan Dewi yang masih menangis sesenggukan. Hatiku hancur, luka terlalu dalam. Istri yang selama ini ku perjuangkan, ternyata tidak lebih dari sampah ja lang.
Keesokan harinya, Bang Rahman menyusulku ke rumah ibu. Tentu saja dia membela adiknya, lalu menyalahkan aku.
"Aku bisa terima jika kau tak mau mengakui anak dalam rahimnya, tapi aku tak terima kau menyebutnya pe la cur. Kau pikir keluarga kami tak punya harga diri, hah?!"
Aku melengos tak suka. Cuihh. Omong kosong.
"Ya kita tunggu saja anak itu lahir, lalu lakukan tes DNA. Jika dia anakku, aku akan mengakuinya."
"Tak perlu selama itu. Sekarang juga, kau boleh menceraikannya. Tak Sudi aku punya adik ipar sepertimu!"
Hatiku panas, amarahku mendidih. Tak perlu berfikir lagi, aku menyetujui
"Baik. Katakan pada adikmu itu, sekarang juga aku menceraikannya! Sekarang, pergi dari rumahku!"
Aku menunjuk tepat di depan wajahnya. Amarah jelas terpancar, siap melayangkan sebuah bogem ke arahku. Tapi bapak menarikku ke dalam, lalu menyuruhnya meninggalkan rumah kami.
Sejak saat itu, tak pernah kudengar kabar Dewi lagi. Keluarganya membawa Dewi pergi, ke luar kota katanya.
Ah, apa peduliku.
***
Hari berganti, bulan berlalu. Ada sesal yang bersarang tapi terlalu gengsi untuk kuungkapkan. Setelah bercerita pada banyak teman, mereka justru menyalahkan aku. Harusnya aku tak segegabah itu, katanya. Secara hitungan waktu, bisa jadi janin itu memang anakku. Aku meninggalkannya selama tujuh bulan, dan usia kandungannya juga tujuh bulan. Bisa jadi saat aku pergi, Dewi tidak menyadari kehamilannya.
Aku
ingin kembali, tentu saja. Tapi atas alasan apa? Aku pernah menemuinya, dia
bersedia. Tapi keluarganya melarang.
Terlanjur
sakit hati katanya ketika putri mereka kusebut perempuan ja lang.
Dan itu memang benar. Semarah itu aku ketika itu.
Penyesalan
makin menyiksa ketika bang Rahman mengirimkan tes hasil DNA yang menunjukkan
bahwa bayi itu anakku.
"Kami hanya mau membuktikan bahwa adik kami bukan perempuan ja lang seperti yang kau tuduhkan. Sekarang, Dewi sudah senang. Anaknya akan hidup aman dan tercukupi, meski tak punya ayah sepertimu."
Sudah kulakukan berbagai penawaran, ribuan maaf ku katakan, tapi tak kutemukan jalan kembali pulang.
Sebagai suami, aku gagal.
Sedangkan
kehidupan setelah Dewi pergi, tidaklah lebih baik kujalani. Aku kembali
merantau, tapi pikiran tak tenang. Lagi pula, untuk siapa uang kukumpulkan?
Tak
ada. Tak ada yang butuh uangku.
Bahkan tak ada yang butuh diriku.
***
"Ibu .. ibu. Mau foto sama badut Doraemon." Bocah itu meloncat-loncat gembira, menunjuk ke arahku.
Perempuan yang disebut ibu itu mendekat, membawa anaknya tepat di sampingku.
"Foto ya, Om badut."
Aku merangkul anak itu, dan membawanya ke gendonganku. Dia tertawa senang, memperlihatkan giginya yang tanggal sebagian.
"Makasih ya, Om Badut." Sekali lagi, gadis itu tersenyum padaku.
Dibalik
kostum Doraemon, air mataku jatuh berderai tak bisa kutahan. Kaki terasa berat
menopang. Ingin menahannya pergi, tapi siapakah aku ini. Bisa melihatnya saja,
aku sudah bahagia. Tahu bahwa ia sehat sejahtera, aku sudah lega.
Menatap
senyum itu terkembang begitu gembira, aku sudah senang. Senyum seorang gadis
kecil jelita, yang mestinya memanggilku Papa.
Jember,
28 Oktober 2021
Posting Komentar untuk "BADUT"