BUKAN AISYAH
Sudah seminggu rumahku dipenuhi dengan instrumen musik yang sama, Aisyah Istri Rosulullah.
Ulah siapa lagi kalau bukan istriku yang semok bahenol, Jamilah.
Mulai
dari versi aslinya, sampai yang KW.
Mulai
yang cuma lirik doang, sampai yang pakai musik Melayu.
Mulai
yang di cover sama si itu, sampai yang di cover si anu.
Mulai
penyanyi pop, sampai penyanyi dangdut.
Semua
dia putar. Jika musik berhenti, maka yang akan terdengar adalah suaranya yang serak-serak
kering itu mulai melengking.
Maunya niru suara Nisa Sabyan, tapi malah jadi kayak penyanyi keroncongan.
Bukannya
aku gak suka. Cuma ya ... Gimana ya?
Kalau
tiap hari, tiap waktu, tiap saat begini, kan bosen juga.
Dia
lagi nyuci piring, lagu ini mengiringi.
Dia
lagi nyuci baju di kamar mandi, lagu ini diputar lagi.
Dia lagi nyapu apalagi. Kadang sapu jadi berubah fungsi jadi mikrofon penyanyi dadakan ini.
Lama-lama, pusing pala babe.
"Dek, gak bosen apa? Tiap hari ituuuu mulu yang di puter. Jangankan anak-anak, ayam tetangga aja sampai hafal liriknya," protesku padanya. Bukannya mematikan musiknya, dia malah nyolot kasar,
"Abang ne gimana sih? Ini lagu bagus. Tentang Aisyah istri Rosulullah, tentang begitu romantisnya hubungan kisah cinta beliau. Mestinya Abang juga hafalin lagu ini dan belajar gimana Nabi memperlakukan istrinya. Beliau itu romantis. Gak kayak Abang. Apa-apa nyuruh, apa-apa protes. Dikira Adek ini babu apa?"
Etdah.
Kalau
sudah begini, mending aku kunci mulut rapat-rapat. Terus kuncinya buang ke
laut.
Bisa berabe kalau masih jawab. Bisa panjang urusan. Bisa gak dapat jatah malam ntar.
Padahal aku masih pingin bilang, mau jadi kayak Sayyidah Aisyah itu berarti juga mau dipoligami.
Tapi
...
Wes
lah. Diem wae.
.
Kami
baru saja makan malam berdua.
Berdua karena anak-anak sudah dia suapi sebelumnya.
Saat melihat dia minum, aku jadi teringat sesuatu.
"Dek, jangan dihabiskan airnya."
Seketika dia berhenti meneguk air itu dan melirik ke arahku. "Kenapa?"
Aku mengambil alih gelas di tangannya, lalu mencari bekas bibirnya di gelas itu.
Jamilah jadi tersipu, pipi bakpaunya berubah jadi merah jambu.
"Aaah
... Abang ... So sweet ..."
Dia mencubit bahuku.
Aku tersenyum geli. Ternyata semudah ini membahagiakan istri.
Berarti
lagu itu memang benar, perlu ditiru oleh pasangan yang sudah halal.
Aku
pun bertekad untuk meniru Baginda Nabi, seperti lirik lagu ini.
.
Aku mendengar suara piring beradu kasar saat mataku belum sepenuhnya terbuka. Sinar matahari masuk dari celah jendela yang terbuka. Aku merogoh nakas, mencari gawai dan mengaktifkannya.
Astaga! Aku kesiangan.
Bergegas
aku menuju ke kamar mandi dan segera menunaikan shalat subuh. Lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali.
Sementara di dapur, suara perkakas beradu semakin memekikkan telinga.
Aku
tahu. Itu kode.
Kode satu dua dua.
"Ayo
Jihan ... Farel ... Bangun. Dari tadi dibangunin gak ada yang nurut. Gak liat
apa ini sudah siang. Kalian bisa telat ke sekolah.
Dalam hitungan ke tiga kalau belum bangun, mamah siram pakai air comberan. Saatu!"
Seketika pintu kamar anak-anak terbuka, mereka berebut keluar menuju kamar mandi.
"Air hangatnya mana, mah?" Suara si bungsu bertanya.
"Gak usah manja. Mandi air dingin saja. Mama bangun kesiangan gini masih aja ngerepotin. Bukannya bangun dari tadi malah nunggu mamah naik darah. Buruan mandi." Perintahnya tanpa menghentikan aktivitasnya mencuci wajan.
Aku
mendekatinya, tersenyum manja lalu mencubit hidung peseknya.
"Duh ... Istriku pagi-pagi udah marah-marah ..."
Dengan cepat dihempaskannya tanganku.
"Ini lagi. Sudah tahu Adek kesiangan jadi pusing pagi-pagi, tahu Adek capek, udah tahu Adek marah, bukannya bantuin beberes rumah malah usil, ngerecokin. Sana gorengin telur dadar buat sarapan."
Aku
terperangah.
Aku
malah disalahkan, padahal aku sedang meniru Baginda Nabi.
.
Pulang kerja, ku temukan rumah dalam keadaan rapi. Jam segini biasanya anak-anak main di rumah si Ical. Setelah mengucap salam, aku membuka pintu tanpa menunggu jawaban. Ternyata, Jamilah tengah duduk di sofa ruang tamu sedang khusuk dengan gawai di tangannya.
Tapi aku urung marah ketika melihat penampilannya yang lain dari biasanya. Tak ada daster bolong kedodoran, rambut acak-acakan, ataupun aroma dapur menusuk Indra penciuman.
Jamilah nampak cantik dengan gamis ungu yang kemarin kubelikan. Dipadu dengan jilbab bermotif bunga dengan warna senada. Saat ku dekati, aroma parfumnya menyambutku. Membangkitkan sesuatu.
Aku berdehem, mencoba mengalihkan konsentrasinya.
"Eh, Abang sudah pulang."
Tapi kemudian kembali pada layar gawai. Lupa menyalamiku.
Aku
duduk di sampingnya, lalu dengan manja, merebahkan kepala di pangkuannya.
"Abang capek, Dek ..." keluhku.
Tak ada jawaban. Masih pula sibuk dengan gawai.
Lalu aku mengusap keringat di dahiku dengan ujung jilbabnya.
Tiba-tiba tubuhku didorong keras hingga jatuh ke lantai.
"Ih, Abang jorok." Aku melongo. Boro-boro dia membelai rambutku, menjambak iya.
"Adek udah rapi gini, udah wangi, malah dikasi keringet bau. Udah ah, Adek mau berangkat kondangan dulu."
Etdah.
Ternyata dia dandan buat kondangan. Bukan untuk menyambut suaminya pulang.
Tapi aku sadar, dia kan bukan Sayyidah Aisyah. Tapi dia Jamilah, istriku.
Ya sudahlah. Aku masuk ke kamar sambil bernyanyi,
"A a a a a Aisyah, ku jatuh cinta. Pa pa
pa pada Jamilah."
.
Siang yang terik, aku dan Jamilah sedang dalam perjalanan pulang dari rumah mertua. Ibu membawakan kami banyak sekali sayuran hasil panen di kebunnya. Sedangkan anak-anak minta bermalam di sana karena besok sekolah masih libur.
Di
tengah jalan, tiba-tiba motor kami berhenti.
Ingin
mengumpat, tapi aku sadar cepat.
"Kenapa, Bang?"
"Biasa, mogok." Jamilah turun dari boncengan. Aku pun memeriksa beberapa bagian yang mungkin bisa diperbaiki sendiri. Sok jadi pahlawan.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
"Udah lah, Bang. Kalau emang gak bisa betulin motor mending bawa ke bengkel aja." Jamilah mulai pegal sepertinya. Aku hanya nyengir kuda.
"Ya sudah. Kita cari bengkel, ya. Ayo bantu Abang dorong motornya," ucapku sambil mendorong motor pelan. Jamilah mengikuti di belakang.
Jalanan kota padat merayap, terik matahari kian menyengat, sadar istriku mulai kelelahan aku mampir sejenak sekedar melepas penat, dan membelikannya es cincau terenak.
Enak karena modal empat ribu, kami sudah bisa minum es segar berdua di panas terik begini.
"Bengkelnya masih jauh, Bang?"
"Dekat. Paling 3km lagi," jawabku santai setelah melanjutkan perjalanan.
Tak terdengar jawaban, tapi aku tahu dia mulai ngos-ngosan.
Teringat salah satu lirik lagu yang sering dia nyanyikan, aku meliriknya.
"Dek, kita romantis, ya?"
"Romantis apaan? Dorong motor tua panas-panas gini. Mana barang bawaan banyak banget lagi. Mestinya Abang tadi cek dulu sebelum berangkat, motornya udah bisa dibawa kagak. Biar gak mogok kayak gini terus. Kan adek selalu bilang, Abang ne berhenti ngerokok. Uangnya ditabung buat beli motor baru, secen gak papa asal gak nyiksa kayak gini. Bukannya manut malah makin jadi. Abang tuh kalau dibilangin emang gak pernah nurut."
Rasanya ... Sesak nafas.
Niat
mau ngerayu malah jadi diomelin.
Apes bener.
Tiba-tiba
sebuah motor metic berhenti di depan kami.
"Kenapa, Jheng?" sapa wanita bertubuh subur, hampir sama dengan istriku. Dia Rohana, tetangga kami.
"Ini motor mogok. Mana bengkel masih jauh lagi," jawab istriku kesal. Aku hanya diam.
"Ya udah. Ayo kalau mau ikut saya pulang. Biar Bang Udin yang bawa motornya ke bengkel."
Tanpa bertanya padaku, Jamilah langsung ngibrit dan duduk manis di motor Rohana.
"Bang, Adek ikut Mbak Rohana aja, ya. Abang hati-hati. Nyampe rumah nanti adek siapin air es. Beneran. Yuk, ah, Jheng."
Motor
itu melaju tenang di tengah jalan.
Sedangkan aku harus menuntun motor dengan sayuran yang mulai lagu karena kepanasan.
Aku
mulai bersenangdung dengan suara mengalahkan deru motor yang berlalu-lalang.
"Aisyah telah pergi .... Pergi meninggalkanku ... Mungkin suatu hari nanti, kau kan datang untukku ...
Eh, salah. Ulang.
JAMILAH
TELAH PERGI...
PERGI
MENINGGALKANKU .... "
.
Rumahku masih dipenuhi dengan instrumen musik yang sama. Istriku juga masih bersenandung ria. Tak peduli pada suaranya yang mulai memekakkan telinga.
Tapi ada yang salah. Salah dengan lirik lagunya. Bukan lagi Aisyah.
Melainkan Khadijah.
"Lagunya beda lagi, dek?"
"Ini yang Khadijah, Bang. Istri Rasulullah yang pertama. Beliau juga sangat cantik dan setia, kayak adek." Jamilah mengedipkan sebelah matanya. "Dan Khadijah ini tidak pernah dipoligami. Nabi juga sangat sayang dan setia pada Beliau."
Etdah. Mulai.
Aku mulai gerah.
"Betul.
Karena Khadijah itu perempuan hebat, sayang sama suami, menemani suami berjuang
dari titik nol sampai Nabi diangkat jadi Rosul. Khadijah juga mau diajak
melarat. Apapun dia korbankan demi perjuangan Baginda Nabi.
Lah adek, diajak dorong motor mogok aja ngedumel panjang kali lebar kali tinggi. Mana Abang ditinggal sendirian di tengah jalan lagi. Bawa barang banyak banget, sementar Adek, enak-enakan bonceng Rohana sampe rumah."
Kupikir
istriku akan menjawab dengan jawaban
yang lebih super panjang lagi.
Tak
apa. Aku siap.
Yang penting unek-unekku sudah kuungkap.
Tapi aneh. Sepi.
Saat aku menoleh ke arahnya, dia bergeming dengan serbet di tangan. matanya merah berembun. Alamat sebentar lagi akan meledak.
Aku jadi salah tingkah.
Hendak berkata, merayu, menenangkan, menyenangkan, membahagiakan, tapi sudah keduluan.
"Hiks ... Ternyata Abang gak sayang sama adek. Abang gak mau nerima adek apa adanya. Abang jahat."
Jamilah berlari ke kamar, menangis histeris seperti anak kecil yang baru saja dimarahi bapaknya.
Aku salah lagi, pemirsah!
Aku
harus bagaimana?
Atau
Lagunya yang harus bagaimana?
Jember,
13 April 2020.
Keren sekali
BalasHapusLebih keren sang suhu ...
BalasHapus