GARA-GARA SKINCARE
Aku mengunggah foto terbaik yang baru saja diambil di pesta pernikahan saudaraku ke dinding WhatsApp ku. Foto itu nampak elegan dengan dekorasi pelaminan yang mewah. Fina dan suami tampak serasi dengan gaun berwarna putih. Aku berdiri di samping pengantin wanita.Tak lama, beberapa komentar menanggapi. Ada yang memberi selamat, ada pula yang merasa sedih karena tak bisa hadir. Semua nampak wajar, kecuali pada satu komentar.
[Lan, wajah kamu kusam. Cobalah ikut perawatan. Jangan lupa pakai lipstik biar kamu keliatan cantik.]
Pesan itu cukup membuatku sedikit tersinggung. Tapi masih saja kutanggapi dengan baik.
[Makasih, Yun. Sayangnya suami gak suka aku pakai lipstik.] Balasku jujur. Aku tidak berbohong. Mas Danu memang sedikit keberatan kalau aku pakai lipstik. Terlihat aneh katanya.
[Ah, masa' sih suami kamu gak suka liat perempuan cantik?]
Pertanyaan apa ini? Hatiku mulai tak nyaman.
[Pakailah skincare. Sayangi wajah kamu. Nanti kamu terlihat lebih tua dari umur sebenarnya. Sisihkan uang belanja, sesekali kita perlu memanjakan diri.]
Pesannya datang lagi.
Selama ini, suami tak mempermasalahkan wajahku. Beberapa orang justru bilang kalau wajahku ini tergolong baby face. teman SMP juga bilang, mereka masih sangat mengenaliku karena dari wajah sampai postur tubuh hampir tidak berubah. Tidak sedikit juga orang yang mengira kalau aku masih kuliah, padahal anakku sudah dua.
Maka pesan dari Yuni, cukup membuatku tak nyaman. Apa selama ini sekian banyak orang telah membohongiku?
[Makasih atas sarannya. Tapi cantik bagi setiap orang itu beda-beda, kan!]
Aku memberi penekanan pada kalimat terakhir. Berharap dia paham maksudku.
[Oh. Iya, sih.] Balasnya kemudian.
Sebentar, aku tenang. Tapi aku malah tak nyaman karena takut menyinggung perasaannya. Percakapan kami jadi sangat canggung, tak seperti biasanya.
Demi mencairkan suasana, iseng aku bertanya.
[Kamu pakai skincare apa, Yun?]
Tanyaku basa-basi saja. Tapi jawabannya cukup mengejutkan.
[Skincare ku mahal. Kalau aku kasih tahu harganya, nanti kamu makin gak tertarik pakai skincare.]
Rasanya ingin sekali mengumpat.
Tapi aku memilih tarik nafas saja, dinginkan hati dan pikiran, lalu menulis balasan.
[Sejatinya, tidak ada perempuan yang tak ingin tampil cantik, Yun. Itu naluri perempuan. Hanya saja, tidak semua perempuan diberi kemampuan untuk itu. Buat aku, bisa beli pempes anak aja sudah alhamdulillah. Aku sadar, aku gak cukup uang untuk itu.]
Pesan ku kirim, berharap dia paham maksud dan perasaanku.
Tapi bukan Yuni namanya kalau tidak mengeluarkan semua pendapatnya.
Aku memilih diam, tapi tidak dengan dia.
[Banyak kok, skincare yang murah dan terjangkau. Masa' sih kamu gak bisa?]
[Dandan itu juga gak harus menor. Yang minimalis aja, pakai lipstik yang warnanya mirip bibir kamu. Gak harus merah menyala.]
[Contohnya kayak gini. Cantik kan?]
Dia mengirim foto seorang teman yang berprofesi sebagai MUA.
Kesal aku dibuatnya. Yang benar saja, aku yang awan soal make up dia bandingnya dengan ahli make up.
[Aku gak punya duit, Yun.]
Begitu pesan itu terkirim, aku langsung menghapus semua percakapan kami. Entah dia membalas lagi atau tidak, aku terlanjur sakit hati.
Perasaanku benar-benar tak nyaman. Rusak parah. Dengan rasa masih kesal, aku mengirim pesan via WhatsApp pada suami.
[Wajahku kusam, ya?] Kusertakan foto yang tadi dikomentari Yuni.
[Biasa aja.]
[Jelek?]
[Ndak. Cantik. Kamu kenapa?]
Dia curiga.
[Sedang merasa tidak cantik.]
Mas Danu tidak membalas lagi. Aku tahu, baginya ini tidak penting. Berbeda denganku yang sedang dalam perasaan kacau seperti ini.
Tapi sepuluh menit kemudian, mas Danu datang. Lebih cepat dari biasanya. Begitu kubukakan pintu, dia langsung memelukku. Erat.
Mataku meremang, hampir saja tumpah.
"Saya suka kamu apa adanya. Jangan tanya lagi," ucapnya sambil mengecup keningku.
Perlahan, hatiku berdamai.
Mungkin, sebaiknya kulupakan omongan Yuni.
Aku perempuan biasa, seorang ibu dengan dua balita. Suamiku juga bukan pegawai kantoran. Gajinya kubuat cukup untuk kebutuhan primer saja.
Masalah wajah bagi kami, selama wajahku tidak penuh jerawat dan masih layak dilihat, dia tidak keberatan. Dia tidak menuntut aku harus tampil cantik dan modis. Cukuplah rapi dan bersih.
Yuni berbeda. Dia temanku semasa kuliah. Yuni berasal dari keluarga berada dengan gaya hidup di atasku. Seleranya juga tinggi, berbeda denganku. Soal pakaian, bagiku yang penting nyaman di pakai. Sekalipun aku beli di pinggir jalan dengan harga sangat murah. Maka tak jarang, Yuni memberikan baju-baju nya yang sudah enggan dipakai. Entah karena model yang sudah ketinggalan jaman, ataupun kekecilan. Karena secara tinggi dan berat badan, aku lebih kecil dari Yuni. Dan aku selalu menerima pemberiannya. Baik untuk kupakai sendiri, atau kubagikan kepada tetangga. Aku tak pernah menolak apapun yang tak lagi ingin dia kenakan.
Setelah menikah, kehidupan Yuni juga tidak berubah. Karena dia mendapat suami yang sederajat dengannya. Jadi dia tetap menjaga gaya dan pola hidupnya. Mapan, cantik, modis dan elegan. Apalagi Yuni belum punya momongan, dia selalu ada waktu untuk perawatan.
Terlepas dari itu semua, Yuni adalah teman yang baik. Sangat baik. Dia selalu memberi support saat aku berada di titik malas. Dia selalu menjadi pendengar yang baik saat aku ingin melepas penat. Dia dermawan pada banyak orang, terlebih padaku. Hanya saja soal mengeluarkan pendapat, Yuni selalu merasa pendapatnya benar, tanpa melihat siapa yang dia beri masukan.
Karena sejatinya, setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda. Tidak semua orang mampu melakukan apa yang bisa kita lakukan. Tidak semua orang memikirkan apa yang kita pikirkan.
Kadang, penting bagi kita, belum tentu penting bagi orang lain. Nyaman bagi kita, belum tentu nyaman bagi orang lain.
Benar bagi kita, bisa jadi salah bagi orang lain.
Karena setiap orang memiliki cara pandang dan prinsip yang berbeda. Jadi tak perlu memaksa pada orang yang memang sudah beda prinsip dengan kita.
Bagiku, itu yang Yuni lakukan.
Dia terlalu memaksakan pendapatnya, dan tanpa sadar menyakiti perasaanku. Jadi percuma saja walau ku jelaskan, karena pada dasarnya kami memang berbeda cara pandang.
Tapi bagaimanapun, ucapan Yuni ku pertimbangkan. Mungkin, aku memang perlu untuk sedikit saja peduli pada wajahku. Tak ada salahnya jika aku melakukan sedikit perawatan. Meski tidak glowing, setidaknya kulit wajahku sehat.
Aku pun mulai rajin mencuci wajah ku dengan sabun wajah, bukan dengan sabun mandi yang biasa kulakukan. Memakai pembersih wajah dengan harga paling murah yang kutemukan di pasar. Aku mulai peduli pada wajahku, rutin kulakukan setiap hari, terlebih menjelang tidur malam. Aku tidak merasakan perubahan yang signifikan. Tapi setidaknya, aku bisa berdamai dengan perasaan.
Sebulan kemudian, aku bertemu Anita secara tak sengaja, dia teman semasa kuliah dulu. Bahagia bersua kawan lama, aku mengambil foto terbaik, lalu mengirimnya ke grup WhatsApp kami.
Tapi perasaan bahagiaku kembali buruk seketika dengan komentar Yuni di grup itu.
[Lan, kamu gak pantas pakai make up. Kamu lebih cantik gak pakai bedak sama lipstik. Cantiknya natural, terlihat cantik dari dalam.]
Ah, salah lagi aku di mata Yuni.
[Alhamdulillah, Yun. Gak usah perawatan yang penting punya kamera bagus. Bangun tidur pun aku akan terlihat cantik.]
Kesal sekali aku dibuatnya.
[Makanya, gak usah pakai lipstik.] Balasnya lagi.
[Siapa yang pakai?]
Semua juga tahu bahwa foto itu efek kamera. Diambil dengan posisi dan pencahayaan yang tepat.
Sampai di sini, aku masih memilih berdamai dengan perasaan. Jengkel memang, tapi bagaimanapun juga, Yuni adalah teman baikku. Aku tak ingin merusak persahabatan dengan perasaanku yang kacau ini. Karena aku tahu, Yuni tak bermaksud menyinggungku. Mungkin dia hanya bercanda. Mungkin dia hanya guyon saja. Aku pun masih menjalin komunikasi dengannya. Meski mungkin tak seintens dulu, karena takut dia merusak perasaanku lagi. Aku sangat menjaga topik yang kami bahas. Aku tak ingin Yuni mengomentari gaya hidupku lagi.
Dua bulan kemudian, aku ketemuan dengan teman-teman sekampus. Kami memang sengaja bertemu karena lokasi sedang berdekatan. Hanya lima orang, tapi cukup puas untuk melepas kerinduan. Dalam setiap pertemuan, tidak lengkap rasanya kalau tidak ambil gambar. Dan dengan senang, kami mengirimnya ke grup kesayangan.
Tak lama, Putri mengomentari salah satu foto kami. Tapi lebih ditujukan padaku.
[Lan, kamu mestinya pakai high heels biar tingginya sama dengan yang lain.] Komentarnya diikuti emoticon tertawa.
Dia memilih satu foto dimana kami berdiri berlima, aku yang memiliki postur paling irit, berdiri di tengah.
Ah, dulu wajahku. Sekarang tinggi badanku. Mungkin badanku ini memang untuk dikritik banyak orang.
Tapi aku menghibur diri, toh itu bukan komentar Yuni.
Aku ingin membalasnya dengan candaan ketika didahului oleh pesan lain.
[Hadehg, si Wulan itu, Put. Boro-boro mikirin high heels.] Tulisnya dengan diikuti emoticon tertawa ngakak.
Sudah. Cukup sudah.
Kali ini, aku benar-benar merasa direndahkan. Dia menghinaku di depan banyak orang. Bercandanya sudah kelewatan. Tak lagi terdengar lucu bagiku. Dan aku benar-benar menangis dibuatnya.
Setelah tangisku reda, aku mengetik balasan.
[Kamu memang teman yang paling baik dan paling pengertian, Yun. Tahu banget kondisiku. Aku mah boro-boro mikirin beli high heels, beli skincare aja aku gak mampu.
Jangankan itu, baju aja kalau bukan dikasi baju bekas kamu, aku gak bakal punya baju bagus. Makasih banyak, ya Yun atas pengertiannya.] Ku sisipkan emoticon tersenyum manis.
Beberapa teman mengomentari, prihatin padaku.
[Duh, Mellasnya Wulan ...]
[Duh, begitu kah ...]
[Duh, Wulan ... 🥺]
Aku menunggu jawaban Yuni. Akhirnya dia muncul juga.
[Duh, mellas sekali ... ]
Dengan tersenyum, aku membalas komentarnya.
[Bukankah selama ini hidupku memang terlihat se-melas itu dimatamu, Nyonya Besar.]
Ada perasaan kesal dan sakit di waktu yang bersamaan. Aku menangis tanpa ada orang yang tahu. Mungkin, selama ini Yuni memang menganggap ku perempuan miskin yang patut dikasihani. Karena itu dia memberikan baju-bajunya padaku dengan merk yang tak mampu ku beli.
Mungkin, selama ini Yuni beregnan karena kasihan, bukan karena aku teman yang nyaman.
Mungkin . Mungkin . Mungkin.
Segala kemungkinan memenuhi otak dan pikiran.
Keesokan harinya, aku tak menemukan no Yuni di daftar kontakku.
Dia juga memutus semua akses yang dapat menghubungkan kami.
Aku diblokir.
Ah, hidup terkadang memang selucu ini.
Aku yang dibuat sakit hati, aku pula yang di blokir duluan.
End.
(Secuil luka dalam sejarah persahabatan)
Selalu suka
BalasHapus