Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

POHON DURIAN

 Di sebelah rumahku ada pohon durian. Setiap musimnya datang, buahnya lebat sekali. Wanginya sampai kemana-mana. Di rumah nenekku juga masih tercium baunya. Apalagi di rumahku yang hanya bersekat pagar bambu. Itu membuatku penasaran, bagaimana lezatnya buah itu? 
Pohon itu milik Pak Rojak, lelaki setengah baya yang dipanggil kakak oleh ibuku. Ibu bilang, kami masih saudara, tapi saudara jauh. Entah sejauh apa. 

Pak Rojak memiliki empat orang anak, salah satunya satu kelas denganku. 



"Pak, aku ingin makan buah itu," ucapku suatu hari. 

"Kapan-kapan, ya, Lee. Kalau bapak punya uang, bapak akan beli buah durian untuk kamu." Begitu selalu bapak bilang. 

"Kenapa kita gak minta aja ke pak Rojak?" Usulku.

"Ndak boleh. Ndak boleh minta-minta. Kalau dikasi, ya diterima. Alhamdulillah. Tapi gak perlu sampai minta. Kita pasti mampu membelinya." Jelas bapak waktu itu. 

Entah bagaimana yang dimaksud mampu membeli. Karena sampai pohon itu berbuah lagi, bapak belum juga membelikannya untukku. Sementara menunggu pak Rojak memberi, itu seperti menunggu durian jatuh dari langit. Mustahil. 

Wahyu pernah mengajakku untuk mencuri buah itu. Kalau hanya sebiji, tak apa kata Wahyu. Pak Rojak tak akan tahu. Tapi aku selalu ingat pesan Ibu. Ada Allah yang maha tahu. Aku mencuri uang 500 rupiah saja Allah tahu, apalagi kalau mencuri buah durian sebesar itu. Mau disembunyikan dimana pula nanti buah itu? 

Ah, sudahlah. Aku menunggu saja. Menunggu dibelikan bapak. 

Sore itu, ibu sedang menyapu halaman belakang. Banyak sekali rumput liar dan sampah berserakan. Aku membantu ibu mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela pohon mangga bapak. Dari sini, aroma durian tercium sangat tajam. Saat kulihat ke atas, buah durian yang sudah diikat tali rafia berwarna merah itu tampak bergelantungan, lepas dari pohonnya. Kata bapak, itu artinya durian sudah siap dimakan. Ah, andai saja durian itu jatuh sekarang juga, aku akan sangat bahagia. 

'Pluk' 

Aku terlonjak kaget. Sesuatu mengenai kepalaku. Seperti ada yang melempariku batu. Saat aku menoleh ke tempat benda itu berasal, yang kulihat adalah pintu yang bergerak tertutup cepat. Entah pak Rojak, atau istrinya, atau juga si Kifli, temanku itu. Aku mengusap kepala yang sebenarnya tidak sakit. Dan menemukan benda itu tepat di kakiku. 
Oh, ternyata bukan batu. 
"Bu, ini apa?" Aku menunjukkan benda itu pada ibu. 

"Dari mana kamu dapat?" 

"Ada yang lempar tadi." Aku menunjuk ke asal benda. Ibu terdiam, cukup lama. 

"Bu, ini apa?" Aku bertanya lagi. 
Ibu menarik nafas panjang sebelum menjawab, "ini biji buah durian." 

Aku membelalakkan mata, senang tak terkira. 

"Oh, jadi seperti ini biji buah durian?" Aku menghirup aroma wangi dari benda itu. 

"Iya, wangi durian. Besar ya, Bu. Gimana buahnya yaa." Aku masih penasaran pada buah satu ini. 

Ibu mengusap ujung mata, mungkin matanya kemasukan debu setelah menyapu. Halaman belakang ini memang sudah lama tak dibersihkan. 

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalaku. 
"Ibu, biji ini bisa ditanam tidak?" 

"Bisa ..." Ibu kembali mengusap matanya. 

"Ayo kita tanam. Siapa tahu buahnya bisa banyak kayak punya pak Rojak." 

Ibu menarik nafas dalam, lagi.
"Boleh. Tapi, kamu harus bersabar menunggu buahnya. Karena ini baru biji, belum bertunas. Setelah tumbuh pun masih menunggu besar, tinggi. Bisa jadi dia akan berbuah saat kamu dewasa nanti." 

"Gak papa, Bu. Aku akan bersabar. Kalau sudah berbuah, kita makan bersama ya, Bu. Ajak Wahyu juga. Dia juga pingin durian kayak aku." Aku mulai berangan-angan. Lalu kuajak bapak untuk membantuku menanam biji tersebut. Sementara ibu masih sibuk mengusap matanya yang berair. Kasian sekali ibu. 

Aku merawat calon pohon itu dengan baik. Kuberi pagar disekelilingnya agar tak diganggu si jago. Kuberi pupuk dari kotoran kambing milik nenek agar tumbuh subur dan cepat bertunas. Kusiram setiap hari agar dia tak kehausan. Kupastikan air yang kupakai adalah air bersih yang kuambil sendiri dari sumur. Biar tak seperti pohon durian milik pak Rojak yang akhirnya mengering. Buahnya tak lebat lagi, bahkan pohonnya nyaris mati. 

Bapak bilang, mungkin karena pak Rojak salah memberi air.
Ah, aku tak mau pohon durian ku bernasib seperti itu.

*** 

Aku menatap pohon durian di belakang rumah yang berbuah sangat lebat. Ini panen pertamanya, aromanya tercium sampai kemana-mana. Ada delapan belas buah durian yang sudah berhasil kuturunkan. Kupikir ini akan cukup untuk tetangga kanan kiri, bisa kubagi walau tak seberapa. Setidaknya, sudah kutunaikan janji pada diri sendiri, juga pada almarhum ibu dan bapak. 

Agar tak ada tetangga yang dengki, lalu menyiramnya dengan minyak tanah, seperti yang mereka lakukan dulu pada pohon durian milik pak Rojak. 


Jember, 6 Januari 2023 

Posting Komentar untuk "POHON DURIAN"

TANPA STATUS
YANG TERLUPA