Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

YANG TERLUPA

 
"Ma, aku cantik kan?" 
Bocah Lima tahun itu memutar badan, memamerkan gaun pesta berwarna merah muda dengan bandana senada. Dia memiringkan kepala ke sisi kanan dengan senyum yang terus berkembang, mengharap pujian. 

Aku tersenyum melihat tingkahnya, sungguh menggemaskan. Rambutnya yang ikal dibiarkan terurai. Di kepalanya, bertengger sebuah bandana yang terbuat dari pita. Kulitnya putih, seperti mataku. Matanya bulat sempurna dengan bulu mata lentik, seperti mataku. Rambutnya ikal penjang seperti rambutku. Tapi kemudian tatapanku terpaku pada garis wajah itu. Wajah yang selalu mengingatkanku pada luka di masa lalu. 
Seketika, senyumku sirna. Disusul dengan senyum gadis itu yang pudar dalam satu tatapan saja. 

"Pergi sana! Ganggu saja!" Syifa berlalu dengan mata berkaca-kaca. 
Aku kembali menatap wajah di cermin, mengamati diriku sendiri. 


Lalu pertanyaan-pertanyaan itu kembali menggema.
'aku salah apa?' 
'aku kurang apa?' 
'bukankah aku cukup cantik?' 
'bukankah aku cukup menyenangkan?' 
'bukankah aku tidak terlalu menyusahkan?' 
Dia juga pernah berkata, dia mencintaiku apa adanya. 

Tapi mengapa ...? 
Aaaarrrrhhgggg 

Aku melempar sembarangan sisir yang sedari tadi kupegang. Rasa hati kembali terbakar, marah, kesal dan sesal menguasai pikiran. Tangisku kembali pecah dalam kesunyian. Aku merasa terhempas ke dalam jurang, tak berarti sama sekali. 

Aku tak bisa lupa meski berkali-kali berusaha. Kenangan itu kembali membayang seiring luka yang tak pernah kering meski telah usang. 

Lima tahun silam ... 
Aku sedang membeli perlengkapan bayi untuk janin dalam perutku yang sudah berusia delapan bulan. Perkiraan dokter bisa saja maju, bukan? 

Sebelum berangkat kerja, Mas Aditya sudah mengatakan bahwa hari dia ada rapat penting dengan kolega yang tidak bisa diganggu. Dia memintaku untuk tak mengganggu acara pentingnya. 

"Bagaimana kalau nanti aku ingin sesuatu?" Rajukku memanja. 

"Belilah. Kau bisa meminta bantuan Tania. Mungkin aku akan pulang terlambat hari ini," ucapnya sambil mengecup keningku. 

Maka saat aku ingin pergi belanja, aku tak lagi perlu meminta ijinnya. 

Tania membawaku ke sebuah toko perlengkapan bayi terlengkap di kota tetangga. Toko itu milik temannya, biar sekalian temu kangen katanya.

Setelah selesai belanja, si pemilik toko mengajak kami makan siang di restoran tak jauh dari tokonya. Restoran dimana aku menemukan luka, hatiku hancur tak bersisa. 

Di depan mata, aku melihat Mas Aditya mencium seorang wanita. Mereka terlihat begitu mesra dalam dekapan penuh cinta. Aku melihat dengan jelas bagaimana suamiku memanjakannya, merangkulnya, mencintainya. 

Aku mematung seketika dengan dada bergemuruh penuh luka. Kaki seolah tak bisa bergerak, mulutku menjadi tak berguna. Aku merasa kalah bahkan ketika aku merasa sudah sampai di garis finish. 
Tania yang juga melihat itu, langsung mendatangi meja mereka. Aku tak mampu menahannya meski dengan kata, tubuhku luruh ke lantai dengan kepala terasa berkunang-kunang. Tapi masih bisa kulihat dalam remang mereka bersitegang di tengah keramaian. Mas Aditya nampak terkejut dan gelagapan, sementara Tania menumpahkan sumpah sera pah sambil sesekali menunjuk ke arahku. Perempuan di sampingnya kebingungan. Dan saat itu aku sadar, dia sedang mengandung yang kutaksir delapan atau sembilan bulan. 

Laki-laki itu mendekat dengan wajah panik. Aku menatapnya dengan hati tak karuan, antara cinta dan benci yang bersamaan.
 
"Bisa kujelaskan. Ini bukan seperti yang kau pikirkan," ucapnya kacau. 
Belum sempat aku menjawab, perempuan berbadan dua disana mengaduh kesakitan dan memanggil suamiku dengan sebutan sayang. Mas Aditya melihatku sekilas, kemudian pergi, memilih membawa perempuan itu pergi. 

Pergi. 

Dia memilih perempuan itu, di depan mataku! 

Meninggalkan aku dalam keadaan kacau. Terluka dan sakit yang begitu dalam. Hatiku tak lagi berbentuk, jiwaku terasa begitu remuk. Sesak dan sesal terus saja mengutuk. Bagaimana bisa aku mencintai sepenuh jiwa pada lelaki yang dengan mudahnya mendua? 

Bagaimana bisa aku begitu percaya pada suami yang dengan sengaja berdusta? 
Aku merasa begitu bodoh dan tak berguna. Aku seperti boneka yang mudah saja dimainkan, semudah ia ditinggalkan, lalu dilupakan. Dianggap tak pernah ada meski ragaku jelas utuh untuknya. 

Aku salah apa? 
Aku kurang apa? 
Bukankah aku sudah memberi semua, bahkan mengubah diriku seperti yang dia minta? 
Selucu inikah takdir yang harus kujalani?
Mencintai, tanpa dihargai? 

Malam hari, pihak kepolisian mengabarkan bahwa mobil suamiku mengalami kecelakaan. Mereka meninggal di tempat dengan kondisi mengenaskan. 
Iya, mereka. Suamiku, perempuan itu, dan janin yang akhirnya kutahu adalah anak mereka berdua. 
Begitu bodohnya aku. 

Bahkan aku tak sadar telah dilukai sedemikian lama. Mas Aditya menikahi perempuan itu setahun lalu, tepat ketika kami sedang gigih memprogramkan anak pertama. 

Lalu, untuk apa anak ini kupertahankan? 
Anak yang hanya membawa petaka dalam rumah tangga yang kukira surga. 
Berkali-kali aku ingin membuangnya. Tapi ibu selalu melarang. Pernah kukonsumsi obat diam-diam, tapi janin ini tetap tumbuh sehat dan berkembang. Hatiku remuk redam, benci dan dendam. 

Dan menjadi lebih menyakitkan, saat bayi itu lahir perempuan dengan garis wajah mewarisi wajah ayahnya. Hidungnya yang Bangir, kulitnya yang putih pualam, rambutnya yang sedikit bergelombang. Dan sorot matanya yang tajam. Sorot mata yang dulu membuatku jatuh cinta berkali-kali, lalu menimbulkan luka tak terperi saat dia memilih pergi. 

Terkadang, cintaku pada gadis itu begitu dalam. Bagaimanapun juga, dia adalah anak yang kuharapkan. Dia adalah curahan cinta yang suluruh. 
Tapi terkadang, tak jarang aku merasa begitu muak, benci dan dendam begitu kuat. Ingin sekali mencekik lehernya, dan melemparkannya jauh ke jurang sana. 
Karena dia, aku kehilangan segala. 

*** 

Malam begitu pekat ketika ibu mengetuk pintu kamarku. Aku bangun dengan enggan. 

"Apa sih, Bu ... Udah malam juga," keluhku kesal setengah mengantuk. 

"Syifa mana?" 
Aku mengerutkan dahi tak mengerti. 

"Ya di kamarnya, lah." Aku hendak menutup pintu kembali, tapi ibu menahannya. 

"Dia tidak ada." Ibu terlihat cemas. 

Hatiku mulai tak nyaman. Pikiranku menghitung dan mengira dimana gadis kecil itu berada. 

"Ibu sudah cari ke seluruh ruangan gak ada. Ayo cari." 

Kali ini, perasaanku benar-benar takut. Takut sesuatu terjadi pada Syifa. Takut dia diculik orang. Dan ketakutan lain yang terus saja terbayang. 

Aku bergegas berganti pakaian, mengambil kerudung sembarang dan keluar ke halaman. Aku menyusuri gang demi gang perumahan penduduk sambil terus memanggil namanya. Beberapa orang yang kutemui menjawab tidak tahu saat kutanya. Beberapa dari mereka turut mencari sebisanya. Aku benar-benar merasa sesak di dada. Ketakutan semakin menggerogoti hati dan pikiran. 
Dimana Syifa?
Dimana anakku? 
Dimana putri tunggalku? 

Lalu wajah polosnya terbayang jelas. Dia yang tersenyum senang saat aku memeluknya, dia yang tertawa saat aku menggelitikinya, dia yang cerewet menceritakan kegiatan bermainnya, dia yang ceria saat aku memboncengnya, dan ... dia terdiam saat aku membentaknya ... mengusirnya dari kamarku. 

Bagaimana aku akan memaafkan diri sendiri jika sampai terjadi sesuatu pada Syifa?

Dan percakapan ibu dan Syifa sore tadi kembali terngiang. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka saat melintas di dapur. 
"Nek, kenapa mama gak sayang Syifa?" 

"Kata siapa?" 

"Mama sering marah, mama gak pernah antar Syifa ke sekolah, mama juga gak pernah mau diajak main sama Syifa. Berarti kan mama gak sayang sama Syifa." 
Seperti ada telapak tangan yang menam par hatiku. Perih, sakit sekali. 

Aku menyayangi gadis kecil itu, sepenuh hatiku. Dialah tumpuan segala rasa, cinta dan kasih sayang, juga rindu dan dendam. 

Aku terduduk lemah setelah mencari lebih dari satu jam. Tak ada yang berhasil menemukannya. Kerudungku basah dengan keringat dan air mata, entah kemana lagi aku harus mencarinya. Ini sudah di batas desa, tepat di sebelah gapura bertuliskan selamat datang yang berada di samping lokasi pemakaman warga. Tak mungkin rasanya jika Syifa berjalan sejauh ini, apalagi sampai di lokasi ini. Syifa anak yang penakut, dia takut gelap, dia juga takut hantu. 

Di tengah rasa yang kacau, antara takut dan menyesal, samar-samar kudengar suara tangis anak kecil. Aku menajamkan pendengaran demi meyakinkan diri bahwa itu suara manusia, bukan makhluk tak kasat mata. Semakin lama, aku semakin yakin itu suara Syifa. 

Aku berjalan mengendap, mendekati sumber suara. Memastikan posisi dia di sebelah mana. Dan suara itu menuntunku hingga ke pintu masuk area pemakaman warga. 

Jantungku berdegup kencang, antara takut dan tak yakin Syifa bisa berjalan dan sampai ke tempat yang selama ini baginya mengerikan. Sampai aku melihat, gadis kecilku duduk dengan memeluk kedua lututnya. Rambut yang tadinya kuikat rapi itu kita berantakan, gadis itu menangis sesenggukan. 
Dengan cepat, aku memeluknya erat-erat. Perasaan lega menyeruak seketika menemukan anakku dalam keadaan baik-baik saja. 

"Syifa ... Kamu mau kemana, nak ... Mama cari kamu ..." 

Diluar dugaan, tangan lemah itu menepis tanganku, berusaha melepaskan pelukanku. 

Aku terkejut, tak biasanya Syifa seperti itu. Biasanya dia senang ketika aku memeluknya, bahkan lebih sering dia yang berhambur ke pelukanku. 
Ini Syifa anakku, bukan? 

"Syifa mau cari ayah. Syifa mau sama ayah." Kalimat itu terdengar begitu kacau, terucap tegas diantara tangis yang kian deras. 

Aku tak mengerti mengapa gadis kecilku mencari ayahnya hingga ke tempat ini. Tak penting bagiku kini, yang penting Syifa ada, Syifa baik-baik saja. Aku kembali merengkuhnya, membawanya dalam dekapanku. Gadis itu terus saja mengoceh. 

"Mama bilang, ayah ada di kuburan. Syifa mau cari ayah di kuburan. Syifa mau sama ayah. Mama gak sayang Syifa. Ayah pasti sayang Syifa." 

Seperti palu godam yang menghan tam ulu hati, bukan hanya sakit, tapi hancur tak berbentuk. Bahkan Syifa menyayangi ayah yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Hanya karena aku terlalu larut pada rasa sakit yang Mas Aditya tinggalkan. 

Mestinya, aku menganggapnya hilang, masa lalu yang harus kulupakan. Bukan justru melupakan buah cinta yang tak mungkin mengerti arti pengkhiatan. Aku terlalu egois memikirkan rasa benci dan dendam yang justru kian mengakar karena kehadiran Syifa, bukan melihatnya sebagai masa depan dan pengobat luka. 

Andai waktu bisa kembali, aku ingin menjadikan sakit itu sebagai penguat, bukan penyakit yang justru mematikan cinta Syifa untukku, ibu kandungnya.
Karena nyatanya, kehilangan cinta anakku, jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan raganya. 


Jember, 25 Agustus 2022 

1 komentar untuk "YANG TERLUPA"

TANPA STATUS
YANG TERLUPA