Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ADIKKU

         Aku punya adik. Dia lucu sekali. Kata mama, umurnya tiga tahun. Dia sudah bisa jalan dan lari-lari. Tapi belum bisa bicara lancar sepertiku. Yang dia bisa hanya bilang mama, papa, kakak, bubuk. Aku sangat sayang adikku. Ibu daan ayah selalu membelikan baju yang sama untuk kami. Sepatu pun begitu. Bahkan terkadang, ibu mengikat rambut kami dengan ikatan yang sama. Terkadang dikepang dua dengan pita merah muda, terkadang ibu juga mengikatnya tinggi ke atas dengan karet warna warni. Aku suka sekali.

Seperti hari ini, ibu mengikat rambut kami menjadi empat bagian. Dua di atas, dua di bawah. Aku memilih warna merah muda dan biru sebagai warna karetnya, sedangkan adikku Aya, kupilihkan warna kuning dan hijau. Hari ini kami akan mengunjungi rumah nenek, ibu dari ayahku. Aku duduk di tengah, diapit oleh ayah dan ibu yang sedang menggendong adik. Sebenarnya aku ingin duduk di depan, tapi ayah melarang karena khawatir aku masuk angin. Padahal, aku senang duduk di depan. Bisa melihat pemandangan, pohon yang berbaris di tepi jalan dan merasakan angin yang menerpa wajahku, rasanya dingin sekali. Perjalanan sangat jauh, sampai aku mengantuk dan tertidur di jalan. Aku masih  bisa merasakan tangan kanan ibu yang menahan tubuhku agar tidak roboh, sampai aku benar-benar lelap dan tak ingat apa-apa. Lalu tiba-tiba, tubuhku terpental dari sepeda, jatuh di bebatuan. Lengan kananku membentur batu besar yang sedikit tajam, darah mengalir membuat bajuku kotor dan berlubang. Kepalaku sakit dan berat, seperti ada banyak kunang-kunang yang berterbangan. Semakin lama, langit semakin gelap. Sampai akhirnya benar-benar gelap dan aku tertidur lagi.

Hari-hari setelah itu, di rumahku ada banyak sekali orang. Ada nenek dari ayah dan ibu. Ada tante Fani, ada bu dhe Lasmi, ada ibunya Harumi juga. Harumi itu temanku. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. terkadang harumi juga ikut dan bermain denganku. Tapi terkadang, aku hanya bermain dengan Aya adikku. Jika malam hari, yang banyak datang adalah teman-teman ayah. Mereka mengaji bersama. Ada ustadz Faruq juga, guru ngajiku di mushalla.

Aku tidak tahu, mengapa mereka sering bertamu ke rumah. Bukan untuk mengobrol seperti hari raya, tapi mereka lebih sering membantu ibu di dapur. Padahal biasanya, tak ada yang membantu ibu. Ibuku bisa masak banyak sendirian. Biasanya begitu. Aneh sekali. Semuanya aneh. Seisi rumah bersikap aneh. Semua lebih banyak diam, terkadang juga menangis sesenggukan. Adikku juga aneh. Dia tidak ceria seperti dulu. Tidak mengoceh lagi dan tidak lari-lari. Dia lebih sering diam, atau tidur di kamar. Ibu juga jarang menggendongnya. Ibu bilang, adik sedang istirahat, jangan diganggu. Aku jadi kesepian. Ini benar-benar tidak asik, sangat membosanan.

Hari ini, harumi tidak ikut ibunya ke rumah. Katanya sedang sakit. Adikku terlihat sibuk sendiri, main boneka di balik pintu, tempat favoritnya akhir-akhir ini. Tempatnya bersembunyi ketika kami bermain petak umpet. Dia tidak asik sama sekali.

“Ica … Ica sedang apa?” Tanya tante Fani. Aku melihatnya sekilas. Kenapa masih bertanya padahal sudah tahu aku sedang bermain boneka. Jadi aku diam saja.

“Ica sehat?” tanyanya lagi. Aku mengangguk.

“kok gak main di luar sama teman-teman?” aku menggeleng.

“Adik mana?”

“gak ada,”  jawabku kesal. Kesal pada adikku. Tante Fani menarik nafas.

 “Rania sedih ya, adik Tania gak ada?” tante Fani memelukku.

“bukan, tante. Adik Aya ada. Tapi dia gak mau main sama aku. Aku sebel. ” Tante Fani Nampak terkejut dengan pengakuanku.

“adik Aya ada?” Tanya tante lagi. Seperti orang tidak percaya saja.

“iya, ada.”

“di surga?”

“bukan. Di sana!” aku menunjuk belakang pintu, tempat adikku bersembunyi.

Tante Fani menjerit histeris, seperti melihat hantu. Padahal Aya sedang tersenyum manis.  Orang-orang jadi kebingungan dan mendekati kami. Mereka semua bertanya ada apa. Tante Fani bicara dengan terbata-bata.

“Aya … Aya … aya a .. a .. ada di belakang pintu kata Ica.”

Lalu wajah mereka berubah, Nampak ketakutan. Ibu langsung menggendongku dan mengusap wajahku berkali-kali sambil membaca shalawat nabi dan entah apa lagi.

Apa juga kubilang, mereka jadi aneh akhir-akhir ini. Kenapa harus seheboh ini, padahal adikku hanya bersembunyi.

Di balik pintu, adikku jadi senyum-senyum sendiri. Pasti dia juga berfikir sama sepertiku. Orang-orang ini memang aneh sekali.

 

Jember, 15 februari 2022

Elen’s

 

Posting Komentar untuk "ADIKKU"

TANPA STATUS
POHON DURIAN