Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KAWIN PAKSA

Jika ditanya tentang orang yang paling kubenci, maka jawabannya adalah Habibi. 

Laki-laki yang terpaksa harus kusebut suami. 


Sudah kukatakan pada ibu, aku belum ingin menikah. Apalagi dengan laki-laki itu. Selain karena perasaan yang hambar, wajahnya juga pas-pasan. Terlalu biasa. 



Tapi bukan ibu namanya kalau tidak memaksa. Apalagi mendapat dukungan penuh dari kedua kakakku, Bang Fatih dan mbakyu Ningsih. 


Meski demikian, aku tetap harus melakukan tugas sebagai istri pada umumnya. Menyiapkan sarapan, mencuci bajunya, bahkan urusan ranjang. Itupun lebih sering menolak dengan halus. Lelah melakukannya tanpa perasaan. 


"Nin, kapan kamu hamil?" Entah ini pertanyaan yang ke berapa. Aku sudah lelah menghitungnya. Padahal usia pernikahanku baru tiga bulan. Mengenal Habibi saja baru sebagian. 


Aku memutar bola mata. Lalu kembali fokus pada laman FB yang kubuka. 


"Ini ditanya orang tua bukannya jawab malah mainan HP." Ibu merebut gawai dengan paksa. 


"Apa sih, ibu. Aku ini bukan anak kecil. Lagian hamil atau gak bukan aku yang nentuin." Ibu terdiam. 


"Tapi kan ibu pingin nimang cucu ..." Ucapnya lirih. 


"Kan sudah ada dari Bang Fatih dan Mbak Ningsih." 


"Ibu pingin yang cewek. Biar bisa didandanin. Rambutnya dikuncir dua. Pakai baju yang mekar-mekar itu loh, nduk. Ntar ibu belikan boneka yang buessar." Ibu berucap dengan binar bahagia. Sementara aku hanya memutar bola mata. Kedua kakakku itu memang memiliki anak laki-laki, belum ada cucu perempuan disini. 


Sampai kapanpun aku tak akan hamil. Sudah kurencanakan semua dengan matang. Akan kutuntut perceraian nanti di waktu yang tepat sampai ibu benar-benar menyadari bahwa aku tak pernah mencintai Habibi. 


Karena itu, aku minum pil KB setiap hari, sembunyi-sembunyi. 


*** 


Tak ada yang salah dengan Habibi, sebenarnya. Yang salah adalah situasi yang menjebak kami dalam hubungan sakral begini. Dia lelaki baik, ku akui itu. Tapi sejauh ini, hatiku masih hambar. Benar-benar tak bisa berdamai dengan keadaan. Bersamanya, hampir tak kurasakan getaran. Aku tak pernah curiga walau dia pulang malam. Jadi jangan berfikir aku akan berkirim pesan seperti istri kebanyakan. Malah aku senang jika dia tak pulang. Bebas dari tuntutan membosankan. 


Tujuh bulan berlalu, semua masih terasa hambar. Kami seperti melakoni drama kehidupan. Aku dengan rutinitasku, dia dengan formalitasnya. Tapi harus berusaha terlihat manis di depan semua mata. 


Sudah kuceritakan perasaanku pada mbak Ningsih, tapi dia sama sekali tak membelaku. Malah semakin rajin ceramah ini itu. 

"Cinta itu bisa datang dengan sendirinya. Apalagi kalau tiap hari bersama. Toh dia suami yang bertanggungjawab. Mantan-mantanmu saja belum tentu sebaik dia. Sudah Sholeh, baik, pinter lagi. Mau nyari yang kayak gimana lagi coba?" 


Ah, menyebalkan memang. 


*** 


Pagi yang mendung, kepalaku mendadak pusing. Badan meriang, panas dingin. Sudah kuminum obat sakit kepala tapi tak mengurangi rasa sakitnya. Malah mual jadinya. 


Tak tahan, aku pergi ke rumah ibu. Biar dikerokin seluruh badan. Biasanya itu akan membuatku merasa lebih nyaman. 


"Kenapa, nduk?" Tanya ibu begitu membukakan pintu. Pasti dia khawatir melihat wajah pucat ku. 


"Greges, buk. Hanin minta kerok, ya." 


"Dasar anak manja. Gitu aja pulang. Kan bisa minta kerok suamimu." Celetuk Mbak Ningsih di depan TV. Aku tak menjawab, hanya menatapnya tajam menghujat. Yang kutatap hanya tertawa cekikikan mirip Mak lampir. 


"Mbak sendiri, ngapain kesini?" 


"Kemarin mbak yu mu telpon, minta dibuatin bumbu rawon untuk acara arisan di rumahnya besok." Ibu yang menjawab.


"Dasar anak manja!" Aku melempar bantal sofa ke arahnya. Dia makin keras tertawa. 


Ibu adalah rumah terbaik untuk pulang, selalu. Selain masakannya yang enak, juga perhatiannya yang lembut. Selalu membuat rindu. Andai ibu mengijinkan, aku ingin tinggal dengan ibu saja. Bukan dengan lelaki asing itu. 


"Kok sampe merah begini, nduk? Kamu masuk angin. Kalau keluar rumah itu pakai jaket, jangan pulang malam. Jaga kesehatan. Kalau kamu sakit, kasian suamimu itu. Siapa yang ngurus nanti..." 


Ah, ibu. Aku yang sakit kenapa menantunya yang dikasihani. Sebenarnya anaknya ini aku apa dia sih? 


"Kamu habis dari mana ini? Bukannya sudah gak kerja? Kok bisa masuk angin?" 


Aku juga heran, aku tak pernah keluar rumah. Istirahatku normal. Bahkan, aku tak harus mengepel dan mencuci pakaian. Semua Habibi yang lakukan. 


"Paling bulan madu terus itu, buk. Jalan-jalan terus sama suami." Celetuk Mbak Ningsih lagi. Tawa kecilnya sangat jelas mengejekku. Dia tahu aku tak pernah jalan dengan Habibi. 

Lama-lama ingin kusumpal saja pakai kelapa.


Enggan menanggapi. Meladeninya akan membuatku semakin mual, tak terkendali. 

Mual sekali. Tak tahan, aku berlari ke kamar mandi. Semua jenis makanan yang masuk tadi pagi, keluar tanpa henti. Badanku lemas seketika. Tak bisa berbuat apa-apa. Ibu semakin panik, mbak Ningsih juga ikutan panik jadinya. Dia membaluri seluruh badanku dengan minyak kayu putih, lalu membuatkan teh hangat untuk ku minum. 


"Ke dokter, ya ... Biar mbak yu mu telpon Habibi dulu," ucap ibu. 


"Gak usah, Bu. Hanin gak papa." Aku berusaha tenang. 


"Gak papa gimana lah wong lemes gini." Ibu mengusap kepalaku, merapikan anak rambut yang berantakan. 


"Jangan-jangan..." Ucapan mbak ningsih menggantung. 


"Jangan-jangan opo tho, nduk. Kamu ini jangan membuat semakin khawatir." Ibu semakin panik. 


"Jangan-jangan Hanin hamil, buk." Mbak Ningsih sedikit berteriak, girang. Seketika, wajah ibu berbinar bahagia. 


"Lah, iya iya. Kamu hamil, nduk?" 


Aku menggeleng lemah, ragu. 


"Tunggu-tunggu." Mbak Ningsih buru-buru mengeluarkan sesuatu dari tasnya. 

Tespek? 


"Coba-coba dulu. Pipis sana!" 


"Nggak ah." Aku menolak. 


"Lah, piye tho. Sana di tes dulu. Biar ketemu sakitnya kenapa, jadi gampang nanti ngobatinnya." 


Setelah drama yang lumayan menyebalkan, akhirnya aku menyerah. Aku tak bisa melawan dua perempuan hebat ini. Melihat harapan di wajah mereka, merayu, merajuk penuh pinta. Aku tak tega.

Dan sungguh, aku tak ingin melihat hasilnya. Aku tak siap dengan kenyataan yang harus kuterima. 


"Bener, buk ... Hanin hamil ..." Teriak mbak. Ningsih.  Senang sekali. Sementara ibu langsung sujud syukur. 


Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

Bagaimana bisa?  


"Alhamdulillah... Akhirnya ibu mau punya cucu lagi. Alhamdulillah ya Allah..." Ibu memelukku erat sekali. Sementara aku masih bergeming. Berusaha mengingat, menimbang, dan memutuskan. 


Astaghfirullah..

Aku lupa minum!


***


Suasana rumah ibu mendadak riuh. Riuh riang gembira dengan kabar kehamilanku. Ditelponnya semua sanak famili, tak terkecuali si Habibi. Tak mereka pedulikan lagi kondisiku yang masih lemas tak bertenaga. 


Hati dan pikiran berkecamuk saling menyalahkan. Selama menikah, aku sudah menunjukkan sikap tak suka pada suamiku itu. Perlahan tapi pasti, aku menghindar. Seperti menyadari sikapku, Habibi mulai menjaga jarak. Aku pun senang. Ini seperti bentuk kerjasama yang baik agar sandiwara berjalan lancar. Lama, dia tak pernah lagi meminta haknya. Jadi aku tak perlu repot minum pil KB segala. Hingga malam itu, dia pulang larut malam. Aku yang sudah tertidur pulas, terkejut menyadarinya sudah memelukku dari belakang. 


Sikapnya kembali pasang surut, aku mulai pasang kuda-kuda lagi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Malam itu, kondisiku dalam keadaan subur. 


Oh, Tuhan... Tolonglah aku. 

Keluarkan aku dari situasi ini. 


Terdengar suara deru mobil di halaman rumah ibu. Tak lama kemudian, sosok itu muncul di ambang pintu bersama kak Fatih. 

"Selamat Yo, Lee ... Kamu akan jadi seorang bapak. Alhamdulillah... Akhirnya ..." Ibu spontan memeluk lelaki berkemeja putih itu. 

Sejenak, lelaki itu tertegun. Mungkin terkejut dengan sikap ibu mertuanya yang absurd. Sejurus kemudian, dia membalas pelukan ibu. Tapi matanya tertuju padaku, sebentuk senyum manis dia lemparkan. Menimbulkan desir tak biasa di dada. 

Eh, ada apa ini? 


*** 


Semakin lama, kondisiku makin tak karuan. Mual hampir setiap waktu, terlebih di siang hari. Ibu dan Mbak Ningsih tak pernah meninggalkan aku seorang diri. Mereka selalu siaga. Kapan pun aku butuh, mereka selalu ada. Apapun yang ku mau, selalu siap tersedia. Demi terlahirnya calon bidadari katanya. Padahal tri semester pertama belum juga berlalu, mereka sudah begitu yakin kalau bayiku nanti perempuan. 


Aku yang semula jarang beraktivitas, makin tak bergerak. Bahkan masak pun sudah diambil alih oleh Habibi. Entah sejak kapan dia bisa masak, masakannya enak.  Kegiatanku setiap hari hanya rebahan saja. Di meja makan, tersedia segala jenis makanan. Di kulkas, stok buah dan susu tak pernah habis. Makanan yang pada akhirnya akan keluar lagi dari perutku. 


Kehamilan ini sungguh melelahkan. 


Ini sudah kali ke sebelas aku mengeluarkan isi perutku. Rasanya tak ada lagi sari makanan yang tersisa, aku lelah lahir batin. Ibu memapahku masuk ke kamar, sedangkan mbak Ningsih mengikuti di belakang dengan segelas teh hangat. Entah sudah berapa dokter dan bidan yang kami datangi, mereka bilang kondisiku ini terbilang wajar. 


Langkahku terhenti ketika suara deru mobil terdengar di halaman, Habibi datang. Aku senang bukan kepalang. 

Eh, apa-apaan ini? 


"Hanin kenapa, Bu?" Tanyanya khawatir. 


"Biasa, Lee, mual-mual terus." 


"Gimana, Bu? Apa perlu dibawa ke dokter lagi?"


"Mau kemana lagi? Ibu juga gak tahu ..." Suara ibu terdengar putus asa. 


"Hanin sudah gak papa." Aku bicara apa adanya, merasa sudah lebih baik. 


Mereka diam, seperti mengiyakan tanpa keyakinan. Sejenak, suasana mendadak sunyi senyap. 


"Saya boleh minta tolong, Bu?" Tanya Habibi setelah aku memilih duduk di kursi. 


"Minta tolong apa, Le?" 


"Ibu atau mbak Ningsih nginep disini dulu, temani Hanin. Saya ada jadwal kuliah di luar kota besok pagi, jadi malam ini harus berangkat." 


"Oalaah, cuma itu. Ya bisa tho, Le," jawab ibu tenang. Sementara aku mulai merasa risau. 


"Biasanya, kalau malam Hanin gak rewel, kok, Bu. Paling minta ngemil aja. Saya gak tahu kalau siang, katanya sering mual." 


"Namanya orang hamil memang gitu. Beda-beda. Bawaan bayi itu ... Kamu yang sabar, ya. Orang hamil emang suka aneh-aneh." 

Habibi menanggapinya dengan senyum. 


"Aku ke luar kota tiga hari. Kamu minta oleh-oleh apa?" Tanyanya sambil mengusap lembut rambutku. 


Aku menggeleng lemah, benar-benar tak ingin apa-apa. Ingin kembali normal saja. 


Malam harinya, Habibi benar-benar pergi. Ibu dan Mbak Ningsih yang menemani. Bedanya, malam ini aku nyaris tak bisa tidur karena terus saja mual. Tak ada satupun makanan yang bisa kutelan tanpa keluar lagi. Ini lebih parah dari biasanya. 



"Habibi bilang, kalau malam Hanin gak rewel, buk. Ini kok malah lebih parah dari siang tadi." Mbak Ningsih mulai kesal sepertinya. Aku tak berniat menanggapi. 


"Coba kamu telpon adikmu itu." Ibu memerintah. Aku langsung menyanggah, 

"Gak usah!" 


"Lah wong ibu yang mau ngomong, bukannya kamu." Ibu malah sewot. 


Tak lama kemudian, nada sambung terdengar dari HP ku. 


"Kok pake HP ku, mbak ..." Aku berusaha merebutnya, tapi terlambat, wajah Habibi sudah nampak di layar. 


"Apa kabar, dek?" Sapanya lembut, mengguratkan getar aneh di hati. 


"Ibu yang butuh." Aku menyerahkan gawai pada ibu. 


"Iya, Bu? Apa Hanin merepotkan?" 


"Ya namanya juga hamil, Lee. Memang kayak gini. Mual terus dari tadi. Padahal ibu sudah nyiapin cemilan banyak sekali, tapi  tiap dimakan pasti  keluar lagi." 


Nampak Habibi mengerutkan dahi. 

"Tumben ..." Lirihnya bingung. Antara menyesal dan kasihan karena sudah pergi bertugas. Pasalnya, baru kali ini dia pergi. Sejak aku hamil, dia memilih untuk meninggalkan tugas mengajar mahasiswanya di luar kota. 


Tak banyak yang ibu bicarakan, mungkin dia hanya sekedar berkabar bahwa kondisiku malam ini tak seperti yang dia ceritakan. 


Keesokan harinya, kondisiku belum juga membaik. Obat dari dokter kandungan yang katanya mengurangi mual itu sudah kuminum. Tapi tetap tak membuahkan hasil. Sungguh, aku lelah lahir batin. 


"Kita bawa ke dokter aja, buk," usul mbak Ningsih. Ibu hanya mengha nafas, berat. 


"Mau dibawa kemana lagi, nduk. Lah wong yang kemarin itu katanya sudah dokter terbaik, Yo masih gak mempan." 

Mbak Ningsih diam, mengiyakan. Ibu terus mengusap rambutku yang basah dengan keringat. 


"Atau, kita bawa ke mbok Darmi saja ya, nduk?" Aku tak tahu siapa yang ibu maksud. 


"Lah. Iya, ya Bu. Kok gak kepikiran dari dulu." Mbak Ningsih langsung bergegas. 


*** 


Kami sampai di sebuah rumah bangunan sederhana. Halaman yang tak terlalu luas itu ditanami bunga, tetata rapi nan asri. Seorang perempuan yang kutaksir usianya 55tahun itu menyambut kami dengan hangat. 


"Kenapa ini, nduk?" 


"Hamil, mbok. Anak pertama. Bawaannya rewel." Ibu menjelaskan. 


"Kesini, tidur disini." Aku menurut. 


Mbok Darmi menyentuh perutku, sama dengan yang dilakukan para dokter dan bidan sebelumnya. Lalu berkata tenang, "bayinya sehat." 


Aku heran, dengan kondisi yang seperti ini, bayinya masih sehat dia bilang. Padahal hampir tak ada makanan yang masuk. 


Tak lama kemudian, mbok Darmi tersenyum sendiri. 

"Suaminya mana?" Tanyanya lagi.


"Kerja, mbok. Keluar kota. Mungkin besok datang." 

Perempuan itu mengangguk-anggukan kepala. 


"Ya sudah. Gak papa. Nanti di jalan, belikan dia buah apel merah. Makanlah meski cuma sedikit." Kalimat itu menandakan bahwa pemeriksaan telah usai. Dia tak memberiku obat, ramuan, atau apapun yang bisa kugunakan. 


"Terus, si Hanin kenapa, mbok?" 


"Gak papa... Bawaan orok itu. Dia gak bisa ditinggal bapaknya." 


"Oalaaahh" suara ibu dan Mbak Ningsih kompak. 


"Ya ngomong tho, nak ... Dari dulu..." Ibu mengusap perutku yang mulai buncit." 


"Gak cuma bayinya itu yang manja, emaknya juga." Mbak Ningsih menoyor kepalaku pelan. 


Ishh... 

Apa-apaan ini. 


Benar saja, sepulang Habibi dari tugasnya, aku hampir tak merasakan mual apalagi harus mengeluarkan makanan. Hidupku seperti normal, malah cenderung senang. 


"Pokok e, Leee. Kamu gak usah kemana-mana, apalagi jauh. Calon anakmu itu gak mau jauh-jauh dari kamu. Kalau bisa libur, ya libur aja dulu. Pantesan kamu bilang kalau malam dia gak rewel, lah wong selama kamu pergi dia hampir gak tidur semalaman. Wes. Gak usah ke dokter-dokter lagi.  Sudah ketemu maunya cabang bayi." Ibu bicara panjang lebar, Habibi hanya menunduk sambil senyum-senyum gak jelas. Entah apa yang dia pikirkan. Aku yang malas menanggapi ibu hanya diam. Diam-diam membenarkan ucapan ibu. Eh,. 


"Ya ngapunten, Bu. Saya gak tahu soal itu. Yang saya tahu selama ini, Hanin gak mau dekat-dekat saya. Dia belum bisa menerima saya sepenuhnya. Makanya saya jaga jarak. Gak enak Bu ... Udah disayang-sayang, saya kasi perhatian, eh, malah dicuekin. Di depan ibu aja dia kalem." 

Aku shock mendengar penuturannya, sama sekali tak menyangka dia akan membongkar semua. Ibu lebih kaget lagi, terlihat dari bagaimana ekspresi nya yang sedikit membuka mulut, tak percaya. 

"Astaghfirullah... Pancet ae. Mau cari kayak gimana lagi kamu, Nin. Suami sudah baik kayak gini masih kurang apalagi coba?" 

Aku salah tingkah. Mencari alasan masuk akal yang bisa diterima ibu. 

"Lah, Habibi itu galak, Bu. Jarang ngomong. Hanin kan takut..." Aku berkilah. 

"Habibi Habibi. Panggil Kangmas. Gak sopan kamu sama suami." 

Ah, kecepolosan. 

"Gak papa, Bu ... Biar akrab." Jawab Habibi santai. 

"Itu bukan gak sopan, Bu ..." Kata Mbak Ningsih menanggapi. 

"Dia panggil Habibi itu maksudnya Kekasihku. Gitu kan, adekku seng ayu?" Mbak Ningsih menaik-turunkan alisnya. Habibi mati-matian menahan tawa. 

Aku membuang muka, malu luar biasa. 


.

Jember, 3 September 2021. 



1 komentar untuk "KAWIN PAKSA"

TANPA STATUS
YANG TERLUPA