Kang Gosting
'Nanya-nanya doang. Ujung-ujungnya pasti gak beli.'
Aku terkekeh sendiri membaca postingan seorang pedagang online. Aku tahu maksudnya, dia menyindirku.
Tapi bukan Retno namanya kalau baperan cuma karena postingan seperti ini. Aku sudah biasa.
Tak ingin menanggapi, ku tinggalkan postingan itu dan melanjutkan scroll beranda.
Lalu berhenti di sebuah postingan teman dumay, menawarkan baju lebaran.
[150k saja, kakak. Mau?]
[Barang ready kah?]
[PO dulu, kakak. Limited edition soalnya ... Ini sisa satu belum ada yang ambil. Bisa langsung amankan, kakak ...]
[Siap, kakak ...]
Aku menambahkan emoticon jempol berjejer tiga di belakangnya. Lalu memblokir akun tersebut.
Ada kepuasan tersendiri tiap kali melakukannya. Membuat mereka bahagia kan dapat pahala. Yaa sekalipun, bahagianya cuma sebentar.
Yang penting aku tidak menipu, bukan? Aku tidak meminta agar barang mereka dikirim, dan beejanji akan membayar.
Tidak. Aku tidak sekejam itu.
HP ku bergetar, satu pesan masuk dari seorang teman.
[Re, barangnya jadi ambil kan? Udah aku pesenin ini, on proses.]
Aku tersenyum geli.
[Duh, maaf Dee. Aku gak ada duit. Kan kemarin aku gak bilang deal..]
[Ya, soalnya kamu nanya-nanya getol banget, kupikir emang lagi butuh banget, makanya aku pesenin.]
[Butuh sih, butuh. Tapi kalau gak ada duit gimana? Kecuali kamu kasi utang. Kapan-kapan aku bayar.]
[Kapan?]
[Ya kalau udah ada uang.] Balasku tanpa beban.
Pesan terbaca, tapi tak ada balasan.
Bodo amat. Toh aku gak butuh itu jilbab.
***
Sudah hampir satu jam aku duduk di sini, sebuah rumah makan sederhana, sesuai dengan alamat yang di tulis Fino, kekasihku.
Lelaki tampan yang sudah lama kusayang itu, akhirnya menyatakan cinta satu bulan yang lalu. Tanpa pikir panjang lagi, aku menerimanya. Tentu saja.
Kami menjalani cinta yang bahagia. Dia lelaki baik, penyayang dan sangat perhatian.
Selalu memberi kejutan yang membuatku semakin sayang.
Tadi pagi, dia memintaku datang ke tempat ini, tempat pertama kali dia menyatakan cinta. Sebuah kejutan lagi akan kudapat, seperti biasa.
Hampir satu jam, rasanya begitu lama. Tapi demi Fino, aku tak apa. Masih di jalan, katanya.
"Re, ngapain?" Seseorang menepuk pundak ku. Aku menoleh, Devi sudah berdiri di sampingku, lalu menarik kursi tepat di sebelahku.
"Nunggu Fino. Kita janjian di sini," ucapku sambil meneguk jus alpukat yang sudah hampir separuh.
Devi mengerutkan dahi, membuatku tak mengerti.
"Fino?"
"Iya, kenapa emang? Kayak yang aneh gitu." Aku tersenyum sinis.
Aku tahu maksudnya. Dulu, Devi juga menginginkan Fino jadi pacarnya. Tapi Fino leboh memilihku, pilihan yang tepat.
"Bukannya kalian udah putus?" Pertanyaan Devi mengejutkanku.
"Eh, maksud kamu apa? Baru juga sebulan kita jadian, kita baik-baik aja. Kok kamu yang sewot. Iri ya iri aja, tapi gak usah bikin gosip."
Aku mulai kesal.
"Tapi ..."
"Eh, denger ya." Aku memotong kalimatnya.
"Aku tahu kamu pernah suka sama dia. Tapi kan udah jelas dia lebih milih aku daripada kamu. Ya, kamu harus sadar diri, dong. Gak usah ngarep."
Devi berdiri, nampak kesal sekali.
"Aku memang pernah suka sama dia, tapi itu dulu. Jauh sebelum aku tahu Fino itu sebejat apa. Amit-amit gue punya pacar buaya." Devi menyambar tas Selempangnya begitu saja lalu pergi, ke luar kafe.
Orang iri memang selalu punya cara untuk menyalahkan dan menyudutkan orang lain. Merasa dirinya paling benar dan membuat orang lain yakin bahwa dia memang benar.
Aku sih, bodo amat.
Yang penting, aku bahagia.
Lima belas menit berlalu, akhirnya aku melihat mobil Fino memasuki halaman kafe. Aku berdiri, bersiap menyambutnya.
Fino keluar dari mobil, lalu memutari mobil, menuju pintu sebelahnya, lalu membukanya dengan sedikit membungkuk, seperti yang biasa dia lakukan saat aku hendak keluar dari mobilnya.
Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti.
Sejurus kemudian, seorang perempuan cantik dengan rambut terurai keluar dari mobil Fino, dengan tangan menggelayut mesra di tangan kiri Fino.
Apa-apaan ini.
Pasangan yang nampak serasi itu berjalan dengan gemulai, ke arahku yang masih terpaku, tak percaya.
"Hai, Re. Sudah lama nunggu?"
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, benar-benar tak mengerti.
"Maksudnya apa ini, Fin?"
"Gak ada maksud. Aku kan udah bilang, kita putus. Ini pacar baru aku."
Bagai disambar petir rasanya, bagaimana ini bisa terjadi.
Kemarin pagi, kami berbincang hangat via WhatsApp, seperti biasa. Lalu tanpa angin, apalagi badai, tiba-tiba dia menulis kalimat 'kita putus'.
Aku membawanya dengan stiker tertawa terbahak-bahak karena begitu yakin dia hanya bercanda. Bagaimana bisa, dari chat yang awalnya manis tiba-tiba ngajak putus. Itu kan lucu sekali?
Lalu semalam, dia kembali mengirim pesan agar aku datang ke kafe ini. Itu jelas meyakinkan aku bahwa dia hnaya bercanda.
Tapi apa yang terjadi saat ini ...?
"Tapi kenapa kamu masih ngajak aku jalan?"
Tanyaku frustasi.
"Siapa yag ngajak jalan? Aku cuma nyuruh kamu datang. Buat ngenalin ini, Fira, pacar baru aku. Jadi kan udah jelas kalau kita putus."
"Kamu jahat, Fin ..." Aku mulai terisak, menahan sesak di dada yang begitu berat.
"Halaaah, gak usah drama. Biasa aja," ucapnya acuh, sama sekali tak peduli perasaanku yang hancur berkeping-keping.
"Kita makan di tempat lain aja, sayang. Gak selera makan di sini."
Suara itu terdengar seiring dengan langkah dua kaki yang kian menjauh. Meninggalkan aku yang sudah terlanjur jatuh.
Jember, 28 Mei 2021
Up
BalasHapusYa Tuhan, blognya jadi cakep banget
BalasHapussemangat nulis...
BalasHapusSemangat nyalinnn 😂😂😂
BalasHapus