Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandan Wangi

 

Sudah satu jam aku duduk di teras kantor pengurus pesantren. Tapi yang kutunggu belum juga datang. Tiga puluh menit lagi kantor akan tutup. Tapi aku juga belum sholat ashar. Aku bimbang, akan tetap menunggu atau masuk ke dalam. 

Empat hari lalu, ibu mengirim uang untuk makanku di sini selama sebulan. Pengiriman lewat pos biasanya akan tiga sampai empat hari. Kemarin sudah kutunggu tapi tak ada, ternyata hari ini pun sama. 



Sementara uang jatah bulan lalu sudah habis sejak kemarin, tadi aku pinjam pada Titi untuk makan. 

Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Pasrah. 

Biarlah. Besok aku bisa puasa. 

Aku segera mandi untuk mengikuti kegiatan pesantren berikutnya. Mandi di sebuah kolam besar yang kami sebut taman. Meski disebut kolam, tapi santri tak boleh mandi dengan cara menyelam disana. Kami hanya boleh mengambil air dari pinggiran menggunakan gayung. Puluhan santri mengelilingi kolam besar itu, mandi menggunakan kain sebagai penutup badan tentunya, karena ini tempat terbuka. Di dalam kolam, hidup beberapa ikan peliharaan pengasuh. Mulai yang ukuran kecil, sampai besar, sebesar lengan orang dewasa. 

Pikiranku masih kacau mengingat uang wesel yang belum sampai. Ini sudah hari kelima setelah ibu memberi kabar, harusnya kemarin sudah sampai. 

"Woy, mandi. Jangan ngelamun!" Seseorang menyiram bahuku dengan segayung air, ingin mengumpat tapi sadar dia tak berniat jahat. Aku hanya menarik nafas berat, pasrah jika besok harus puasa, lagi. 

Iya, aku rajin puasa kalau uang kiriman sedang telat saja. 

Tatapanku tertuju pada pada beberapa santri yang sedang memberi makan ikan-ikan di kolam dengan pandan wangi. Ikan-ikan itu terlihat begitu lahap menyantapnya, saling berebut menyerbu selembar pandan yang disuguhkan. Terlihat sangat menyenangkan dan juga menenangkan. 

Pandan wangi tumbuh subur di sebelah kolam mandi ini. Ada dua rimbun yang berdampingan, tumbuh semakin subur karena hidup di dekat air tentunya. Meski tanpa disiram dengan sengaja, mereka akan terciprat air saat santri sedang mengguyur tubuhnya dengan air di dekat pandan wangi itu. Kami menyebutnya dengan bersuci, bagian terakhir dari mandi. 

Merasa tertarik, aku pun ikut memetik beberapa lembar pandan wangi untuk kuberi pada ikan-ikan lucu dan menggemaskan itu. 

Benar saja, ada hiburan tersendiri saat mereka berebut pandan yang kuulurkan. 

Membuatku sejenak lupa kalau besok harus menahan lapar dan dahaga. 


*** 


Pagi yang sibuk. Para santri bersiap untuk ke sekolah. Sebagian sudah rapi, sebagian masih bersiap diri di kamar masing-masing, sebagian lagi masih berebut gayung di taman. Lima belas menit lagi, pintu gerbang akan ditutup. Semua siswa tingkat SD, SMP dan SMA harus keluar dari asrama. Tersisa mahasiswa karena jadwal mereka menyesuaikan dengan jadwal hadir dosen masing-masing. 

Tiba-tiba, suasana gaduh. Di bawah, para santri begitu riuh. Entah apa yang terjadi, aku tak begitu peduli. Paling-paling pengurus kamtib baru saja memasang daftar nama pelanggar Minggu ini, itu sudah biasa.  

"Ada apa, sih?" Tanya Ibath begitu melihat shofwah muncul di balik pintu. Dia baru selesai mandi, pasti tahu tentang kehebohan yang sedang terjadi. 

"Nyai Toan 'dhukah'", tukasnya.  

Nyai Toan adalah sebutan untuk pengasuh kami, pengasuh paling sepuh. Beliau adalah pengganti orang tua kami di pesantren ini. Dhukah, adalah istilah yang mereka gunakan saat menyebutkan nyai Toan sedang sangat marah. 

Kami terperangah. Pasalnya, selama ini nyai Toan tidak pernah marah, apalagi dhukah. Beliau pribadi yang sabar, lembut, dan sangat mengayomi. Menegur pun dengan sangat halus. Bahkan pada pelanggar peraturan terberat sekalipun. 

Lalu apa yang membuat beliau begitu murka? 

"Dhukah gimana?" Tanya Laini mewakili suara hati kami. 

"Tadi shubuh, nyai Toan kan ngimami, lewat taman kan?" 

Kami menunggu penjelasan. 

"Nah, beliau melihat tanaman pandan wangi itu sudah 'korceng'." 

Tiba-tiba, jantungku berdetak cepat. 

Tergambar jelas di benakku kondisi pandan wangi yang kini tak menarik lagi. Daun-daunnya yang hijau, panjang dan wangi sengaja dipetik oleh para santri. 

Sialnya, aku diantaranya. 

"Jadi, Nyi Toan dawuh, siapapun yang memetik daun pandan itu, harus minta maaf langsung ke beliau." 

Mati aku 

"Kapan?" 

"Ya sekarang. Tuh, sudah banyak yang baris." 

Aku merasakan degup jantung yang tak karuan. Takut bercampur malu. 

"Hayo ... Siapa yang sudah metik daun pandan buat ngasi makan ikan ... Hayo ngaku ...." Goda sofwah. Aku diam, pura-pura tak dengar. Padahal deg-degan.

"Mbak Lilik pernah kan? Ngaku deh, ngaku ... Aku liat waktu itu." Titi menunjukku tanpa aling-aling. 

Aku menjawab sambil terus menyisir rambut. 

"Iya, emang pernah. Kenapa emang? Ke dhalem kan? Gak masalah. Kapan lagi sowan Nyi Toan." Aku berusaha bersikap sesantai mungkin padahal dadaku bergemuruh hebat. Mana perut rasanya melilit ketakutan. 

Mau bagamana lagi, sudah ketangkap basah. Mau mengingkari juga gak ada guna. Adanya nambah dosa. 

Setelah meneguk segelas air, aku menuruni tangga, bergabung dengan barisan yang lain. 

Begitu menyentuh lantai dasar, puluhan pasang mata menatapku. Ada yang kaget, ada yang menyorak, ada pula yang takjub, mungkin. 

"Hayo mbak Lilik ... Yang udah baik banget ngasi makan ikan pakai daun pandan ..." Goda salahsatu dari mereka. 

Aku tersenyum santai sambil mengangkat alis. 

"Mbak Lilik juga?" Tanya yang lain. 

"Iya," jawabku tenang. 

Barisan sudah sangat panjang. Bisa dibilang, ini hampir separuh dari jumlah santri keseluruhan. Masa itu, jumlahnya lebih dari lima ratus kepala. 

Tapi aku yakin, ini tidak semuanya. Karena sebagian dari mereka, lebih mempertahankan gengsi daripada mengakui kesalahan. Atau malu karena sudah mahasiswa. 

Seperti mbak Fit, contohnya. Seorang mahasiswa semester tujuh yang juga pengurus. Aku melihat sendiri ketika dia memberi makan ikan dengan daun pandan. 

Tapi dia bersikeras tidak mau mengakuinya. 

Aku mengambil posisi di barisan paling belakang, dengan beberapa mahasiswa lain yang tak enggan mengaku salah. Tapi di sini, aku yang paling tua. Menyebalkan memang. 

Di belakangku, pengurus yang bertugas mengantar kami menghadap pengasuh mengikuti. 

Aku mencium takdim tangan pengasuh, mengucap maaf berkali-kali. Benar-benar menyesal. 

Lalu Eva, pengurus yang mengantar kami juga menyusul. 

"Abdinah nyo'on saporah," ucapnya sambil terus menunduk. 

"Iyeh, Va. Kalangkong yeh lah nolongin ngator nak-kanak." Dawuh beliau penuh kasih sayang. 

"Enggi. Abdinah nyo'on saporah," ucapnya lagi.

"Iyeh, iyeh. Kalangkong." 

Kami pun melangkah mundur untuk keluar dari dhalem pengasuh. 

Setelah melewati dapur, kami berbalik, berjalan maju. 

"Mbak Lik." Eva menarik lenganku. 

"Apa?" 

"Aku dosa gak ya?" 

"Kenapa emang?" 

"Aku sowan, minta maaf juga sama Nyi Toan itu, karena juga pernah metik daun pandan. Ngasi makan ikan. Tapi sepertinya beliau tidak paham maksudku." 

Aku tertawa mendengarnya. Pintar juga dia. 

Pakai gaya nganterin pelanggar biar gak keliatan kalau pernah melanggar. 

Setiap kita pasti pernah melakukan kesalahan, tapi tidak semua mau mengakuinya. Bahkan tak jarang, lempar batu sembunyi tangan. 

Entah bagaimana caranya melepas tangan dari bahunya. 


Jember, 18 Juni 2021 


Posting Komentar untuk "Pandan Wangi "

TANPA STATUS
YANG TERLUPA