Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

WETON

"Hai." 

Sebuah pesan kuterima dari nomor tanpa nama, tapi sudah kuhafal diluar kepala. 

Pesan singkat itu sukses membentuk senyum di bibirku. Berhasil mengubah suasana hati yang tadinya tak menentu. 

"Hai." Balasku dengan senyum masih terkembang. 

"Lagi apa?"

"Lagi mandang bulan," jawabku sambil menatap bulan sabit yang terpampang manis di langit. Di sekitarnya, gemintang bertaburan indah. Menambah suasana hati semakin berbunga.

"Bulan sabit, kan?" 

"Iya." 

"Apa indahnya?" 

"Ya indah aja. Ngeliat bulan sabit itu kayak liat orang lagi senyum." 

Yang terbayang di benakku adalah senyumnya. 

"Tapi masih bagus bulan purnama, menurutku." 

Kami berbeda pendapat ternyata. 

"Bagus sabit, laah." 

"Sejauh ini yang aku tahu, mengibaratkan kecantikan itu dengan bulan purnama, bukan bulan sabit. Contohnya, wajahmu bagaikan bulan purnama. Kan gitu? Masa' iya wajahmu cantik kayak bulan sabit." 

Aku tertawa membayangkan wajah melengkung cekung. 

"Ya gak gitu juga ..." 

"Berarti lebih cantik bulan purnama kan?" 

"Gak lah. Tetap bagus bulan sabit." 

"Purnama!" 

"Sabit!" 

"Lebih cantik purnama!"

"Lebih cantik bulan sabit!" 

"Lebih cantik kamu!" 

Rasa hangat menjalar di wajahku, menghadirkan debar tak menentu. Beruntung orang di seberang sana tak bisa melihat wajahku. 

"Masih ada orang di sana?"  

Pesan itu menarikku kembali menginjak bumi. 

Belum selesai aku mengetik, pesan berikutnya datang lagi. 

"Hhmm." 

"Mau tidur?" 

"Belum." 

"Hari ini aku lumayan sibuk, jadi capek banget. Istirahat, yuk."

 Aku mendesah kesal. Kupikir akan punya teman begadang. Tapi tak mungkin aku melarangnya istirahat. 

"Duluan aja." Balasku singkat. 

"Kamu?" 

"Belum ngantuk." 

"Kalau gitu, aku tunggu." 

"Gak usah. Duluan aja." 

"Kamu gimana?" 

"Ya gak gimana-gimana. Tidur aja. Kamu pasti capek banget." 

"Tapi aku gak bisa nemenin kamu ..." Sesalnya. 

"Santai aja. Ketemu di mimpi ntar." Aku tersenyum sendiri. Seolah kami bisa mengatur bunga tidur. 

"Ya udah. Aku tunggu kamu." 

"Gak usah ..." 

"Aku tunggu pokoknya." 

"Gak papa kok. Duluan aja." 

"Iya aku duluan, tapi aku tunggu." 

"Tunggu dimana?" 

"Di depan pintu." 

"Pintu mana?" 

"Pintu rumah ..." 

Aku mengerutkan dahi, tak mengerti. 

Sampai semenit kemudian pesan berikutnya datang lagi. 

"Rumah tangga." 

Sontak aku menelungkupkan kepala ke bantal yang sedari tadi kupangku. 

Ribuan kupu-kupu seolah menari di perutku. 

Oh, Tuhan... 

Jika ini sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku. 

Azka, pria sederhana yang ku kenal setahun lalu lewat seorang teman. Tak ada yang istimewa dengannya. Wajahnya tak rupawan, cenderung biasa. Kulitnya sawo matang. Keluarganya juga tak seberapa mapan, terlalu biasa. 

Yah. Tak ada yang istimewa dengannya, kecuali dia selalu membuatku merasa nyaman. Bersamanya, duniaku terasa berwarna. Dia mampu menjadi teman yang setia mendengar celotehku. Dia mampu menjadi kakak yang selalu menegur kesalahanku, peduli pada kesehatanku. Dia mampu menjadi guru yang selalu membimbingku. 

Entah karena dia memang mampu, atau itu hanya rasaku. 

Saat aku marah, dia memilih diam. Tak menegur apalagi bertanya. Tapi senantiasa ada. Mengirimiku video lucu, atau quote bersahaja. Lalu marahku menguap dengan sendirinya. 



Waktu berjalan mengiringi langkah kami yang kian merapat, saling menautkan hati meski tak pernah terucap. Tatapan mata ini, cukup untuk mewakili kata hati. 

Akhirnya harus kuakui, aku mencintainya, lebih dari yang kuingini. 

"Saya mau ketemu orang tua kamu, kapan bisa kesitu?" Tanyanya suatu ketika. 

"Ngapain?" 

"Sekedar memastikan bahwa mereka mengijinkan putrinya untuk menjadi ibu dari anak-anak saya nantinya." 

Bersemu merah aku jadinya. Semoga dia tak mendengar suara degup jantung yang mendadak tak beraturan. Sementara pikiranku melayang, memikirkan bagaimana caranya agar dia tak melihat wajahku yang merona kemerahan. 

Ah, kenapa cinta membuatku se-tolol ini. 

"Atau saya langsung kesitu saja, ya." 

"Jangan!" Cegahku cepat. 

Biacara pada ayah dan ibu tidak semudah itu, apalagi orang baru. Aku belum mengenalkan pria ini lebih jauh. Harus kuajukan proposal awal, lalu promosi menggiurkan. Agar lebih mudah jalan menuju halal. 

Aku harus memilih waktu yang tepat untuk itu. 


*** 


"Siapa namanya?" Tanya ibu setelah kuutarakan maksud lelakiku. 

"Azka," jawabku mantab. Berharap dengan begitu akan membuat ibu percaya bahwa dengannya, aku akan bahagia. 

"Sudah ibu duga ..." Jawaban ibu diluar dugaan ku. 

"Kenapa begitu?" 

"Beda aja rasanya. Dari cara dia menyapa kamu, cara dia memandang kamu, cara dia menghargai kamu, ibu sudah merasa dia memang naksir anak ibu." 

Aku tersipu malu. Sulit menutupi suasana hati yang kian bermekaran di hati. Sampai disini, aku sudah hampir seratus persen yakin, ibu akan setuju. 

"Nanti akan ibu bicarakan dengan ayahmu." 

Seketika, lemas badanku. Sebuah firasat kurasakan. Firasat bahwa semua tak akan semudah yang kubayangkan. 


*** 


"Kalian gak cocok. Dalam hitungan Jawa, kalau kalian bersama maka tidak akan bahagia. Akan ada banyak kesalahpahaman, banyak pertengkaran. Tidak bisa berjalan seimbang, akan timpang dan akhirnya tumbang." 

Seketika aku bungkam. Selama ini, Keputusan ayah adalah keputusan final. 

Ayahku seorang yang memegang erat itung weton. Segala hal dia perhitungkan, terlebih soal pernikahan. Dan ini bukan kali pertama terjadi. Kakakku sudah mengalami ini. 

Hancur sudah segala mimpi. Musnah sudah semua harapan yang terpatri. Dan akhirnya, harus aku yang ingkar janji. 


*** 


Bulan sabit tersenyum manis di langit. Dikelilingi ribuan bintang yang berkerlip bergantian. Di sampingku, seorang lelaki berkemeja biru sedang menekuni koran di tangan. Sesekali dia membenarkan posisi kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Hadirnya menambah keindahan malam yang kian gulita.

Aku menatapnya diam-diam. Mensyukuri betapa besar nikmat yang Tuhan berikan. Bersamanya, telah sempurna separuh agama kutunaikan. 

Tidak mudah untuk sampai di fase ini. Aku terus memintanya pada Tuhan. Lalu melakukan negosiasi yang alot dengan ayah, tentang itung weton yang beliau yakini benar.

Meski itu artinya kami harus saling mengistirahatkan hati, sejenak berhenti bermimpi. 

Setelah hari itu, kami jarang berkomunikasi. Bukan untuk berhenti, tapi untuk melompat lebih tinggi. 

Setiap rumah tangga, pasti akan melalui jalan terjal, bergelombang, bahkan jurang. Tak ada yang lolos begitu saja tanpa melaluinya dengan air mata. Semua tergantung seberapa kuat mereka bertahan dan saling menguatkan. 

Ayah benar, rumah tanggaku tak berjalan dengan tenang, awalnya. Ada banyak sekali perselisihan yang membuat kami bersitegang. Tentang selera makan, misalnya. Atau tentang warna yang sepadan. Tentang pekerjaan, pun tentang cara mendidik anak-anak. Hampir disemua hal kami tak sependapat. Tapi Tuhan selalu memberi kesempatan. Membuka hati dan pikiran lebar-lebar untuk saling menerima kekurangan. 

Dia lebih sering mengalah ketika kami sulit menemukan titik temu. Dia lebih mampu memahami ku, mengerti posisiku. Dia memberiku banyak ruang untuk bergerak bebas sejauh aku mau. Dari situ aku belajar, bahwa cinta itu membebaskan. Bukan saling mengikat dan mengekang. 

Ayah benar, jalan kami timpang. Semakin jauh aku mengenalnya, semakin aku melihat kekurangan. Tapi dia mampu membuatnya menjadi alasan untuk saling melengkapi, saling mempertahankan. Agar langkah kami seimbang. Lalu kembali berjalan beriringan. 

Tak ada yang salah dengan perhitungan ayah. Dia berhak mengkhawatirkan ku dan meminimalisir segala kemungkinan buruk dalam hidupku. Tapi kami berusaha meyakinkan, di atas weton, masih ada Tuhan. Dan ditanganNYA, segala ketentuan akan berjalan. Sesuai amal perbuatan. 

"Apa yang kamu pikirkan?" Jemarinya merapikan rambutku yang mulai beruban. Membangunkan ku dari lamunan. 

"Gak ada." Aku berkilah. 

"Hampir lima puluh tahun kita bersama, kamu pikir aku belum hafal, apa?" Dia tersenyum, menenangkan. 

Aku menggenggam tangannya yang masih membelai rambutku. Memberinya ciuman bertubi yang terasa dingin di bibirku. 

"Makasih, ya." 

"Untuk apa?" 

"Untuk semua. Untuk tetap bertahan sejauh ini, menjadi imam yang layak untuk kuikuti. Maaf jika baktiku tak pernah sempurna."

Dia membalas genggaman tanganku. 

"Sama-sama. Terima kasih juga, sudah sejauh ini setia. Terima kasih sudah melahirkan anak-anak yang luar biasa. Bagiu, kau lebih dari sekedar sempurna."

Aku memeluknya erat, sangat erat. Kurasakan hangat menjalar di seluruh tubuh, terlebih ketika tangan keriput itu merengkuh. 

Cinta ini ... Tetaplah utuh. 

Bahkan hingga raga kian merapuh. 



Jember, 29 September 2021 

Posting Komentar untuk "WETON"

TANPA STATUS
YANG TERLUPA