Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LELAH


Aku menatap wajah teduh di depanku. Dia masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh kami berdua. Perlahan aku mengecup keningnya. Wajah itu bergeming, masih larut dalam mimpinya yang entah apa. Jarum jam masih menunjukkan angka tiga, biasanya dia akan terbangun 20 menit lagi.

Aku memutar kembali video perjalanan hidup kami. Sejak sebelum menikah, hingga detik ini, saat kami memiliki dua orang putra.

Dulu, dia begitu gigih mengejar cintaku. Melakukan apa saja untuk membuatku jatuh cinta. Aku yang awalnya hanya menganggap dia main-main saja, akhirnya percaya setelah dia datang ke rumah bersama rombongan keluarganya.

Bahagia?
Tentu saja.


Karena diakui atau tidak, aku telah jatuh cinta secara sempurna. Lelakiku yang penuh kharisma.

Satu hal yang kuingat hingga kini, saat itu, dia tengah berjuang mendapatkan cintaku. Aku yang masih trauma dengan pengkhianatan masa lalu, selalu mencoba untuk mematahkan semangatnya. Bukan kenapa, aku hanya takut sakit untuk kesekian kalinya. Aku pernah jatuh cinta, lalu dikhianati dan aku terluka. Sungguh, aku tak ingin mengulang hal yang sama.

"Kenapa terus mengejarku? Bukankah kau tahu bahwa aku menolakmu?"

"Tapi aku mencintaimu," jawabnya dengan cepat. Lalu dia menoleh, menatapku.

"Tentu saja aku mengharap balasan. Tapi, aku tak berharap padamu. Aku berharap pada Allah saja. Karena, jika aku berharap padamu, lalu kau tak membalasnya, pasti aku akan marah dan kecewa. Tapi jika aku berharap pada Allah, dan Allah tak mengabulkan, aku mau marah pada siapa? Masa' aku mau marah sama Tuhan yang telah menciptakan aku? Nggak kan?"

Jawaban itulah, awal aku jatuh cinta. Lalu kian tumbuh bersemi mengiringi setiap jengkal perjalanan kami. Hingga akhirnya, kami mengikat janji, menjadi sepasang suami istri.

Tahun pertama pernikahan, perjalanan sulit telah kami hadapi. Susahnya mencari pekerjaan membuat Mas Heru rela melakukan apa saja demi mengisi perut kami. Mulai dari menjadi pedagang asongan, sampai menjadi kuli bangunan. Kami pernah melewati masa dimana sebungkus nasi dibuat cukup untuk mengisi perut kami berdua.
Sungguh, itu momen paling romantis yang pernah kami lewati bersama.

Hingga waktu membawa kami pada keberuntungan. Mas Heru diterima di sebuah perusahaan swasta setelah lima bulan mengirimkan surat lamaran. Jabatannya tak seberapa, tapi kami melakukan sujud syukur yang teramat panjang, seolah baru menemukan setetes air di tengah Padang pasir yang gersang.

Sebagai bentuk syukur, Mas Heru memintaku untuk membeli sepuluh porsi sate ayam, lalu membaginya pada tetangga terdekat. Saat itu, sate ayam adalah makanan istimewa bagi kami, karena setiap hari kami cukup bersyukur bisa makan dengan lauk tempe, dan tumis kangkung sisa kemarin sore.

Setelah itu, keadaan ekonomi kami semakin membaik. Sampai aku tak perlu lagi mencuci baju milik tetangga sebelah yang kaya raya itu untuk bisa membeli beras esok hari.

Setelah itu, mas Heru tak mengijinkan aku bekerja lagi. Terlebih karena kandunganku semakin membesar. Mas Heru bilang, aku tak perlu memikirkan apapun yang berurusan dengan uang. Dia akan memenuhi semua yang aku butuhkan, dan memberikan apapun yang aku inginkan.

Mas Heru baik, bukan?

Lalu semua perempuan ingin seperti aku, katanya.
Punya suami yang baik, pekerja keras, perhatian, dan segala label suami idaman ada padanya. Tentu saja aku bangga.

Hingga suatu hari, aku mendengar kabar tentang perempuan yang sering menemui suamiku di kantornya. Seseorang mengatakan padaku, bahwa mereka sering jalan berdua, makan berdua, keluar kota berdua. Tentu saja aku tak percaya. Mana mungkin suamiku berkhianat? Pun tak ada perubahan berarti pada suamiku.

Aku percaya setelah hari itu, aku melihatnya sendiri. Dia sedang makan berdua di sebuah rumah makan tak jauh dari kantornya. Mas Heru membelai perempuan itu dengan mesra. Sesekali menyuapkan nasi ke mulut perempuan bergincu merah menyala di sampingnya. Ah, romantis sekali mereka.

Ingin rasanya menghampiri mereka. Tapi aku ingat ada Si kecil Fatih bersamaku. Aku segera berlalu, pergi dari tempat itu sambil sesekali menghapus air mata dengan ujung jilbabku.

Mas Heru tega ...

Malam harinya sebelum tidur, aku menceritakan tentang apa yang selama ini kudengar sampai apa yang kulihat tadi siang. Ku pikir dia akan mengelak. Ternyata Mas Heru menunduk lemas di hadapanku, meminta maaf. Dia mengaku khilaf.

Aku ingin marah. Aku ingin memakinya sebagai lelaki bejat. Aku ingin mendorongnya sampai terjungkal ke lantai.

Tapi yang kulakukan hanya menangis, dan pasrah saja ketika Mas Heru menarik kepalaku ke dalam pelukannya. Dia berjanji tak akan mengulanginya lagi.

Aku percaya.

Selang lima bulan kemudian, aku mendengar kabar itu lagi. Perempuan yang kutahu akhirnya bernama Aura itu masih dekat dengan suamiku. Kembali aku mengingatkan Mas Heru. Dan lagi, dia meminta maaf. Dia sedang berusaha untuk lepas dari Aura, karena tak mudah untuk meninggalkan perempuan itu begitu saja. Aura mengancam akan bunuh diri jika Mas Heru meninggalkannya.

Dan lagi-lagi, aku percaya.
Aku menyadari, tak mudah melepaskan apa yang sudah biasa kita genggam. Aku percaya saat Mas Heru bilang, semua pasti akan kembali seperti dulu. Aura akan pergi dari kehidupan kami. Kami akan bahagia seperti dulu lagi.

Satu tahun kemudian, aku kembali menemukan hal janggal. Mas Heru makin sering asik dengan gawainya bahkan saat di meja makan. Dia kerap pulang larut malam dan mempermasalahkan hal sepele. Lalu menyalahkan aku atas kesalahan yang dia lakukan.

Saat dia tidur, aku memberanikan membuka gawainya. Di sana kutemukan banyak sekali chat mesra dengan kontak bernama *Auraku*.
Perempuan itu lagi.

Dadaku bergemuruh hebat. Kepalaku terasa panas. Sakit di hati terulang lagi, dengan kesalahan yang sama, dan orang yang sama.

Hanya saja ...

Saat aku menanyakannya pada Mas Heru, dia justru menyalahkanku. Mengatakan aku istri kurang ajar karena telah lancang membuka gawainya tanpa ijin.

Dia yang salah, dia yang marah.
Dari sorot matanya, aku tahu, Aura tak pernah pergi bahkan sejak pertama dia datang dalam kehidupan kami.
Bahkan, Mas Heru berkata akan menikahi Aura. Demi kebaikan, kilahnya.

Kebaikannya. Kebaikan mereka. Kehancuran bagiku.

Aku dikhianati berkali-kali oleh dua sejoli yang sejatinya tak pernah saling melepas diri.

Ingin menyerah, aku pulang ke rumah Ibu. Perempuan itu menyambutku dengan tangis yang tertahan di kelopak mata. Aku tahu ibu tak ingin rumah tanggaku hancur. Tapi sungguh, aku mulai lelah.

Mas Heru menelponku berkali-kali, menjemputku ke rumah ibu, meminta aku pulang ke istana kami. Aku yang belum yakin pada ucapannya, memilih untuk tetap tinggal di rumah ibu.

Namun begitu, hampir setiap hari Mas Heru menemuiku. Membawakan oleh-oleh untuk anak-anak juga ibuku. Sampai ibu luluh, tak tega melihat mas Heru yang terlunta-lunta tanpa aku.

Aku melihat wajahnya yang memucat. Penampilannya yang tak terawat. Rambutnya yang tak lagi dipangkas rapi. Menyiratkan bahwa dia kewalahan mengurus diri sendiri.
Wajar, selama ini aku yang mengurus segala keperluannya. Mulai dari makanan yang harus disiapkan di depan mata, sampai letak pakaiannya. Sehari saja aku tak di rumah, akan terlihat rumahku seperti kapal pecah. Lalu berkali-kali akan menelponku sekedar bertanya di mana aku meletakkan gula.

Ya. Setergantung itu Mas Heru padaku. Apalagi sekarang, hampir dua bulan aku meninggalkannya.

Setelah yakin dengan segala ucapannya, dan melihat kesungguhannya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Merajut kembali mahligai yang sempat karam, dan kembali membangun kepercayaan.
Tidak terlalu sulit, karena sejatinya aku mencintainya, sangat.

Ah, terlalu besar cintaku.

Akhirnya aku memutuskan untuk kembali pada Mas Heru setelah kuhubungi perempuan itu. Aku menemuinya dan mengajaknya bicara dari hati ke hati. Dia berjanji akan berusaha menjauhi suamiku dan tak mengusik rumah tangga kami lagi.

Aku percaya. Selalu percaya.

***

Suara gawai bergetar, mengagetkan ku dari lamunan panjang. Aku mencari sumber suara, ternyata dari gawai Mas Heru. Sepertinya seseorang sedang menelpon. Aku sengaja mendiamkannya. Aku sudah bertekad, tak akan lagi peduli pada apapun selain hubungan yang mulai kami perbaiki. Sejak Mas Heru berjanji akan berubah, aku pun berjanji tak akan mengekang hidupnya. Aku tak lagi mengusik privasinya. Tak pernah melihat isi ponsel bahkan isi dompetnya. Aku bertekad akan memulai semuanya dari awal, seperti kali pertama kami menjalin hubungan.

Aku terus saja menikmati pemandangan wajah yang tertidur pulas di depanku, sampai nada itu berhenti.

Namun tak lama, gawai Mas Heru berdering lagi. Mungkin memang benar-benar penting. Seseorang menelpon berkali-kali, sepagi ini. Namun aku tak tega membangunkan suamiku. Nada itu terus saja berdering.

Khawatir Mas Heru terganggu, aku pun meraih benda pipih itu.
Namun, seketika seolah lepas segala persendian tubuhku melihat nama yang terpampang manis di layar itu,

*AuraKu*

Deg.

Mungkinkah?

Ragu, aku menggeser gambar gagang telfon berwarna hijau, lalu mendekatkannya di telingaku tanpa berkata apa pun.

"Mas ... Bangun ... Sudah waktunya sholat. Bangunlah! Mari kita berdoa. Untuk kita, untuk semua harapan kita." Lembut suara itu terdengar. Namun terasa sangat menusuk hatiku. Perih. Sakit. Aku seperti terlempar ke dalam jurang pengkhianatan yang terdalam.

Lama terjeda, menyadari tak ada suara, perempuan itu memutus panggilannya.

Aku bergeming. Menatap gawai itu dan wajah suamiku secara bergantian.
Ujianku belum selesai, Tuhan?

Rasa ingin tahu kembali mengusikku. Aku kembali lancang, membuka gawai suamiku. Di sana, ku temukan banyak sekali chat mesra mereka. Terakhir, enam jam yang lalu, sebelum Mas Heru tidur di sampingku.

Aku memejamkan mata, merasakan setiap ngilu hati yang seolah diiris perlahan oleh sebilah pisau tajam. Mas Heru pernah mengkhianatiku. Lalu dia berjanji akan berubah. Mungkin maksudnya, akan pura-pura berubah. Aku tersenyum miris, menertawakan kebodohanku.

Perlahan aku turun dari ranjang dan mencari gawaiku sendiri. Mengetik beberapa angka di sana yang sempat aku buang sebelumnya. Ku pikir, urusanku dengan perempuan itu sudah selesai. Ternyata semuanya belum usai.

Aku menghubungi nomor itu berkali-kali. Nada tersambung sampai akhirnya terputus sendiri. Entah sudah berapa puluh kali.

Satu pesan kukirimkan, "Angkat telfonku, Ukhty. Mari kita bicara sebagai sesama perempuan."

Selang beberapa detik, centang dua itu berubah warna. Aku pun kembali menghubunginya. Tak lama, terdengar suara di seberang sana, "Ada apa, Ukhty?" dengan suara lembutnya, dia menyapa dengan sangat sopan.

Ada apa dia bilang? Ada apa?

Ingin rasanya aku memakinya. Mengatakan dia perempuan murahan, perempuan sundal, penggoda suami orang, dan kata-kata kasar lainnya. Karena sungguh, itu pun tak akan cukup membayar rasa sakit yang aku derita.

Namun aku tak sekuat itu. Bukan amarah, justru aku menangis pada perempuan itu.

"Apa salahku, Ukhty? Dosa apa aku sama kamu? Kenapa kamu tega melakukan ini?"

Hening

"Kamu sudah janji akan menjauhi suamiku tapi nyatanya, kamu masih menghubunginya di belakang ku ... "

Masih hening.

"Ukhty... Apa lagi yang harus ku lakukan agar sakit ini tak terulang?"

Aku menahan air mata agar tak tumpah. Sementara di ujung sana, terdengar helaan nafas.

"Apa maumu, Ukhty? Bukankah sudah kukatakan, jika kau menunggu restuku untuk menjadi istri kedua Mas Heru, sampai kapan pun tak akan kau dapatkan. Atau ... Kau menunggu kematianku?"

Emosiku mulai naik, namun aku berusaha untuk tetap berucap dengan nada halus, seperti yang dia lakukan.

"Maaf. Aku terlalu lemah atas perasaanku sendiri. Andai kamu ada di posisiku, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama."

Egois. Ingin sekali aku memakinya berkali-kali.

"Lalu jika kau ada di posisiku, apakah kau akan tinggal diam?"

Hening. Hanya helaan nafas yang terdengar berat. Atau mungkin sengaja dibuat terdengar berat.

"Dengarkan aku, Kiya. Aku sudah memenuhi janjiku. Aku sudah berusaha menjauhi Mas Heru."
Tergesa-gesa dia menjelaskan. Tapi, aku takut kalimatnya belum selesai.

"Tapi?"

Lagi-lagi, desahan berat yang terdengar.

"Tapi ... Aku tak bisa."

Sudah kuduga.

"Aku sudah menghapus nomor Mas Heru dari daftar kontakku. Aku sudah menghindar setiap kali Mas Heru mengajakku bertemu. Tapi, aku kembali luluh ketika Mas Heru bilang ... Dia tak bisa hidup tanpa aku ..."

Seakan berhenti berdetak jantungku. Suamiku tak bisa hidup tanpa dia? Apa aku salah dengar?

"Mas Heru bilang, dia seperti orang gila ketika aku menghilang dari hidupnya. Mas Heru bilang, dia tak sanggup jauh dariku, Ukhty ... Dan aku tak ingin melihat orang yang kucintai terpukul seperti itu ... Aku tak mampu ..."

Isaknya mulai terdengar. Isak tangis memilukan. Meremukkan hati dan jiwaku. Bukan karena tangisnya, melainkan karena pengakuannya yang sama sekali tak kuduga.

Pikiran mulai berkecamuk. Siapa yang harus kupecaya?
Bukankah suamiku sudah berubah?
Dia sudah betah di rumah dan tak lagi marah-marah.
Dia sudah kembali menjadi sosok yang kami banggakan, penuh perhatian dan kasih sayang.

Lalu Aura ... ?

Aku menggeleng kuat-kuat. Menolak pernyataan Aura yang sangat mengoyak hati.

Pasti Aura hanya mengada-ada.
Pasti dia hanya ingin membuatku cemburu.
Pasti dia berbohong.

Tapi ...

Aku luruh.

Aku kembali ke kamar. Mas Heru masih terlihat lelap dalam tidurnya. Perlahan, aku mengusap wajahnya, mengecup keningnya. Membangunkannya.

"Mas ... Bangun ..." Aku sedikit mengguncang bahunya. Dia bergeming.

"Mas ... Ayo, bangun ..."

Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang dikatakan Aura hanya omong kosong belaka.

"Mas ... Kamu dibangunin, tuh, sama Aura." Keningnya berkerut meski matanya masih terpejam. Ah, dia sudah bangun rupanya.

"Mas ... Kalian masih ada hubungan, ya?"

Mas Heru menggeliat, lalu berbalik menghadap dinding, membelakangiku.

"Apa, sih, dek. Masih pagi juga."

Aku menarik nafas pelan, lalu menghembuskannya perlahan. Mengatur suara agar tak sengau.

"Aura nelpon kamu. Aku yang angkat. Dia bangunin kamu, mengingatkan untuk tetap meminta yang terindah untuk masa depan kalian."

Hening. Tapi, aku tahu dia mendengar.

"Mas. Berarti selama ini kamu hanya berpura-pura baik pada kami. Kamu hanya ingin meredam gosip yang beredar tentang kalian. Kamu hanya mau melakukannya dengan cara yang rapi.

Sudahlah. Mari bersikap dewasa. Kalau memang kamu gak bisa hidup tanpa dia, kamu lemah tanpa dia, kamu hancur tanpa dia, menikahlah dengannya. Aku ikhlas. Syaratnya hanya satu, ceraikan aku!" Aku mulai terisak. Berat dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Sudahlah, Key. Bukankah sudah kukatakan. Sekuat apapun aku berusaha untuk bersama dengan Aura, tapi jika Tuhan tak berkehendak maka kami tak akan bersatu. Doakan saja aku! pasrahkan semua pada takdir." Nadanya mulai meninggi. Saat itu aku tahu, Aura berkata yang sebenarnya. Hatiku luka untuk kesekian kalinya.

"Pasrah pada takdir itu setelah kamu berusaha, Mas. Jika kamu tak pernah berusaha menjauh dari perempuan itu, maka kamu tidak akan pernah bisa. Ibaratkan saja kamu berjalan. Jika kamu berjalan di tengah jalan, maka kamu pasti tertabrak kendaraan. Luka berat ataupun luka ringan, bahkan mati sangat mungkin itu terjadi. Tapi jika kamu berjalan di sisi jalan, di jalan yang semestinya, Insyaallah kamu selamat. Jika kamu masih menjadi korban kecelakaan, itu baru takdir."

Dengan cepat, Mas Heru bangkit dari ranjang kami. Mengusap wajahnya dengan kesal dan berlalu dari hadapanku.

"Kamu emosi. Aku pergi saja sampai kamu tenang lagi," ucapnya seraya berkemas.

"Jangan pergi. Mari kita selesaikan dengan cara orang dewasa. Selesaikan dulu sampai semua benar-benar selesai setelah itu putuskan, akan tetap di sini atau pergi menemui Aura."

Tak ada jawaban. Sampai tubuhnya menghilang dibalik pintu. Beberapa menit kemudian, terdengar deru motor keluar dari halaman.

Aku tersenyum miris. Air mata terus mengalir tak mampu kubendung lagi.

Sudah jelas pada siapa dia berpihak. Lalu untuk apa aku bertahan?
Untuk apa aku mempertahankan hati yang sudah pasti tak mungkin kumiliki lagi.
Untuk apa aku berusaha bertaruh nyawa mempertahankan mahligai rumah tangga jika aku hanya berjuang seorang diri?
Sedangkan membangun sebuah keluarga adalah tentang dua orang yang mendayung perahu dengan arah yang sama, dengan tujuan yang sama.
Baru kusadari, selama ini aku hanya mendayung sendiri. Karenanya aku tak pernah mencapai tujuan, justru berputar pada pusaran air yang semakin menggoyahkan, lalu tenggelam.

Aku lelah.
Sangat lelah.
Benar-benar lelah.

Kuraih gawai di nakas. Mengirim pesan pada Aura.

[Selamat, Ukhty. Kamu pemenangnya.]

Aku menggigit bibir bawahku. Sakitnya sampai ke ulu hati. Tak lama, warna abu-abu centang dua itu berubah menjadi biru. Mengetik ...

Sedetik kemudian, balasannya kuterima.

[Terimakasih]

Dia bahagia.
Sedangkan aku ... Lebih dari sekedar terluka.

End.

Posting Komentar untuk "LELAH"

TANPA STATUS
YANG TERLUPA