Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ada Masanya


"Sudah lama, mbak?" Sapaku pada seorang ibu muda yang tengah menenangkan anaknya. 

"Lumayan. Satu jam." 

"Bareng siapa?" Aku duduk lesehan, tepat di sebelahnya. "Suami," ucapnya sambil menunjuk seorang lelaki yang menggendong anak perempuannya. 

Aku memperhatikan mereka sedari tadi, keluarga kecil ini membawa dua anak mereka yang masih balita. anak lelaki itu merengek meminta mainan sedangkan antrian masih mengular. 

Kami sedang berada di balai kecamatan. 

Kemarin, ayahku yang masih bertahan sebagai penjual bakso keliling itu mendapat undangan sebagai penerima dana bansos sebagai pedagang kaki lima. Ternyata, ibu muda ini mendapat undangan yang sama. Meski hanya tiga ratus ribu, tapi sangat berarti bagi pedagang kecil seperti kami.




"Mbak bareng siapa?" 

"Itu," aku menunjuk ayahku yang sedang duduk di barisan terdepan. 

"Oh, sudah hampir dapat giliran ya. Berarti gak bakal lama. Entah kapan saya ini. Mana belum masak buat jualan nanti." Ibu muda itu mengeluh. Wajah lelah terlihat jelas dari guratnya. 

Namanya Rina, dia adik kelas, dua tingkat di bawahku. Aku tahu betul ibu muda ini. Selain karena kami masih tetangga, juga karena sepak terjangnya di sekolah dulu cukup terbaca. 

Dia gadis cantik dan lincah pada masa itu. Dia menonjol di bidang ekstrakurikuler, terlebih di bidang seni. Dalam setiap pertunjukan dan pentas seni, dia selalu tampil memukau, selalu menjadi pusat perhatian. Bahkan setelah dia keluar dari sekolah itu, guru seni masih sering mencarinya untuk menemani dan melatih adik-adik pentas seni. 

Iya, sepenting itu dulu ia. 

Bahkan sampai dia menikah. Konon katanya, suaminya orang kaya di kota seberang. Setiap bulan, ada gaji bapak yang bisa diandalkan. Hidupnya terlihat nyaman dan tentram, jauh dari kata kurang. Tak jarang aku melihatnya jalan-jalan, makan di luar atau sekedar main game di swalayan besar. 

Namanya semakin sering dibicarakan di kalangan ibu-ibu. Banyak yang ingin jadi seperti dia, diperistri orang kaya. Hidup bagai permaisuri raja, apa-apa tinggal minta. 

Hingga akhirnya, bapak mertuanya dikabarkan meninggal dunia. 

Awalnya, semua masih terlihat baik-baik saja. Bajunya masih branded, topik pembahasannya masih panas. Bukan soal harga cabai dan kedelai yang ramai dibicarakan, tapi tentang harga tiket film berbintang. Jajannya juga masih di swalayan. Kalau hanya warung tetangga, itu kalau kepepet saja. 

Tapi saat ibu mertuanya sakit-sakitan bahkan tak lagi bisa menggerakkan badan, lumpuh sebagian. Hidupnya mulai goyang sebagian. 

Suami Rina yang notabene anak pertama, harus mau menampung ibunya yang sudah tua. Alih-alih menghemat biaya hidup, yang ada malah tambah bangkrut. Pasalnya, sang ibu sudah terbiasa hidup ada apanya, bukan apa adanya. Dan tak mungkin bagi suami Rina untuk tidak menurutinya. Mereka harus tetap terlihat baik-baik saja, setidaknya di depan ibu tercinta. 

Nampaknya tiga tahun cukup menggerogoti pikiran dan kantong mereka. Setelah sang ibu tiada, hidup mereka berubah sepenuhnya. 

Rina sempat merantau, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Hal itu terpaksa dia lakukan setelah hasil jualan gorengan tidak mampu menampung kebutuhan. Apalagi membayar hutang. Sementara surat tanah mereka sudah disita bank. 

Aku menatap ibu muda itu dalam-dalam. Garis-garis halus di wajahnya mulai terlihat. Mungkin dia tak sempat memakai bedak, atau mungkin sudah lupa cara memakai bedak. Tubuhnya menyubur dengan jumlah anak yang bisa kubilang banyak. Entah efek KB, atau sudah berhenti mengikuti senam rutin setiap hari Jumat. 

Semua ada masanya. Tak selalu sesuatu itu akan indah dipandang, tak selalu kita akan ada di depan. Ada masanya, kita harus merasakan nikmatnya makan dengan garam, karena lauk hanya cukup untuk anak tersayang. 

"Ayo, nduk." Suara ayah mengagetkanku. 

"Sudah selesai, Yah?" 

"Sudah." 

Aku beranjak, memakai lagi sendal yang tadi kugunakan sebagai alas duduk. Lalu mendekati Rina yang masih berusaha menenangkan anak keduanya. 

"Mas Ridwan. Ini, buat beli permen." Kuulurkan selembar uang berwarna hijau. Tak seberapa memang, tapi cukup untuk membeli balon yang dia inginkan. 

"Loh, Ndak usah, mbak. Jangan repot-repot." Rina menolak dengan halus. 

"Gak papa, kok. Buat Ridwan ini." Anak lelaki itu meraihnya dengan senang, membuat sang ibu serba salah. Aku tersenyum menenangkan, lalu pergi dari hadapan mereka. 

Karena aku pernah merasakan, saat anakku tantrum minta mainan tapi uangku hanya cukup untuk makan. Dan saat aku sudah punya cukup uang, justru aku kehilangan anak semata wayang karena sebuah kecelakaan. 


Jember, 25 Mei 2022 

Posting Komentar untuk "Ada Masanya "

TANPA STATUS
POHON DURIAN