Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ayah

Orang bilang, seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. 

Tapi mengapa sampai usiaku yang tak lagi ABG kini, aku belum pernah merasa jatuh cinta pada ayahku? Apalagi dibuat jatuh cinta. 

Yang ayah lakukan setiap hari hanyalah menghardik, marah, memukul dan tak jarang menendang tubuh ringkihku. 



Entah, apa aku sehina itu? 

Ayah mudah marah pada sesuatu yang tak sesuai ekspektasinya. Aku tak menyapu rumah, ayah marah. Padahal aku menunda menyapu karena tumpukan piring kotor semakin tak tersentuh. 

Aku keluar, ayah marah. Padahal aku sudah pamit baik-baik, dan dengan tenang dia berkata iya. Entah dia lupa atau hanya alasan untuk kembali memukulku. 

Pernah, aku tertidur di rumah saudara ayah. Rumah kami hanya tersekat dinding. Aku memang lupa pamit waktu itu karena ayah sedang tak di rumah. Lalu tertidur ketika ayah pulang. Dia tak bertanya pada bibi yang masih terjaga, tapi justru keliling komplek, mencari ku ke rumah teman-teman. Aku terbangun dengan jantung berdegup kencang, ketakutan. Benar dugaanku, amarahnya semakin tak terkendali. Dia menamparku sampai aku tersungkur di lantai, lalu menendang pahaku dengan kaki kanannya. Aku sudah minta maaf, bahkan bibi juga membantuku menjelaskan. Tapi itu tak membuat ayah diam. Dia terus saja marah, mengumpat ku dengan sumpah serapah. Dia bilang, aku anak tak tahu diuntung, aku anak pembawa sial, aku tak punya otak. 

Malam itu, aku tak tidur. Ingin rasanya kabur dari rumah, tapi tak tahu harus kemana. Semua saudara ayah tinggal di komplek yang sama, dan mereka tidak bisa melindungiku dari amukan ayah. Bukan karena lemah, tapi karena ayah terlalu egois, keras kepala dan tak mau mengaku salah. 

Jangan bertanya tentang ibu. Ibuku pergi setelah melahirkan adik keduaku. Dia tak sanggup lagi hidup dengan laki-laki keras kepala itu, ringan tangan dan selalu menyudutkan. Ibu tak pernah benar di mata ayah. Dua belas tahun ibu bertahan dalam kondisi menyakitkan, sakit lahir batin. 

Dan setelah ibu pergi, aku adalah pelampiasan ketika ayah emosi. 

Begini rasanya jadi ibu, begini sakitnya jadi ibu. Dia harus bangun pagi demi menyuguhkan kopi dan sepiring nasi untuk suami, membereskan seluruh rumah, menjaga ketiga anaknya, melayani suami yang tak tahu terima kasih. Di mata ayah, semua itu tak ada arti. 

Ayah akan baik-baik saja meski ibu memilih pergi, karena dia melarangku ikut dengan ibu. Tentu saja untuk ini, untuk menjadi babu dan menjadi batu. Diam ketika dia marah, bekerja sepenuh waktu untuknya. 

Saat aku menginjak usia 16 tahun, ayah menempatkan ku di sebuah asrama yang dia sebut pesantren. Tapi bagiku, ini tak lebih dari tempat pembuangan anak yang tak diharapkan orang tuanya. Disini, aku bertemu dengan beberapa teman yang memiliki nasib hampir sama. 

Tapi seburuk apapun tempat ini, masih jauh lebih baik dari pada aku harus di rumah. Disini, aku memang bekerja layaknya ibu rumah tangga. Hanya saja, aku berhak makan kapan saja, aku punya waktu untuk mengaji, aku punya waktu untuk sekedar merebahkan tubuh. Disini, ibu pengasuh sangat menyayangi kami. Tak jarang dia mengajak kami jalan-jalan, atau sekedar menemaninya berbelanja di swalayan, pusat pembelanjaan besar yang tak pernah ku kunjungi sebelumnya. 

Setidaknya, disini tak ada yang memukulku. Aku tak perlu mengalami luka lebam seperti biasa. 

Ayah jarang datang berkunjung meski sekedar bertanya kabar. Apalagi memberiku uang jajan. Tunjakan di sekolah pun sudah entah berapa tumpukan belum ayah bayar. Aku malu, tapi tak tahu bagaimana cara melunasinya. Ayah tak pernah peduli itu semua. 

Ketika libur sekolah tiba, ibu pengasuh membolehkan kami pulang. Saat itulah aku bimbang. 

Aku rindu teman-teman di rumah, aku rindu bibi yang selalu menyayangiku, aku rindu nenek yang selalu membelaku. 

Tapi aku tak mau bertemu ayah. 

Itu dua keinganan yang tak mungkin bersatu, harus ada yang ku kubur. 

Dan selalu aku memilih pulang dengan resiko yang sudah jelas bisa kubayangkan. 

Aku iri pada mereka yang berkisah tentang ayah yang hebat. Aku juga ingin bercerita tentang ayah, membanggakannya di depan teman-teman. Hanya saja, aku tak punya secuil kisah pun untuk kubanggakan. 

Tak ada. Atau aku tak bisa mengingatnya. Yang kuingat hanya bagaimana dia marah, bagaimana dia memukul, bagaimana dia mengumpat kasar. 

Aku merasa tak punya alasan untuk mencintai laki-laki itu, selain karena aku harus memanggilnya ayah. Aku lelah. Sangat lelah. Benar-benar lelah. 

Aku memilih untuk tetap di pesantren meski ibu pengasuh memintaku pulang. Berkali-kali ayah datang membujukku, tapi aku enggan. Karena aku tahu, untuk apa dia memintaku pulang. 

Aku tetap bertahan di tempat ini meski semua teman sudah pergi. Aku memilih untuk tinggal. Tak apa meski harus menyapu lingkungan pesantren seorang diri, tak apa meski harus memasak seorang diri, tak apa meski harus mencuci pakaian milik pengasuh. 

Itu semua jauh lebih baik daripada harus pulang ke rumah ayah. Hingga suatu pagi, bibi datang. Dia bilang, ayah sakit. Dia memintaku pulang. 

"Buat apa, Bi? Kalau memang sakit dia bisa pergi berobat sendiri. Dia tak butuh aku untuk itu." 

Aku bersikukuh pada pendirian. Aku tak mau pulang, aku tak mau terjebak dalam kehidupan mengerikan. Tak masalah jika harus kuhabiskan sisa umurku di tempat ini, toh ayah memang tak peduli. 

Dan benar bukan? Ayah sembuh tanpa aku harus pulang. 


*** 


Aku lupa, berapa lama berdiam diri, merenungi nasib yang membawaku ke tempat ini. Tiga tahun lalu, seseorang meminangku. Ibu pengasuh tetap menghargai ayah sebagai orang tua untuk memutuskan masa depanku. Tapi seperti yang kuduga, bahkan untuk urusan sepenting itu, dia tak mau tahu. Dia bilang, terserah ibu pengasuh saja. 

Saat itu aku benar-benar yakin, ayah tak pernah menginginkan kehadiranku. Aku menerima lamaran mas Fatih karena menurut ibu pengasuh, dia laki-laki yang baik. Aku percaya, dia tak mungkin menjerusmuskanku dlaam penderitaan yang berbeda. 

Benar saja, mas Fatih memang laki-laki yang baik. Dia menghargai ku, menghormatiku, dan tentu menyayangiku. Terlebih saat aku hamil, dia tak pernah sekalipun meninggalkan aku. 

"Dik ..." Mas Fatih memegang pundakku. Aku menoleh. Sepertinya, ada sesuatu yang ingin dia katakan. 

"Kita pulang, ya ..." ucapnya pelan. 

"Pulang ke mana?" Aku tak paham. 

"Ke rumah ayah." Kalimatnya terdengar sangat hati-hati. 

Aku memalingkan wajah, sakit itu kembali terbayang setelah setahun ini berusaha kulupakan. 

"Ayah sakit, dik ..." 

Aku diam, menahan gejolak yang tiba-tiba terasa panas di dada. Entah, setiap mengingat ayah, aku ingin seklai marah. 

"Ayah akan sembuh," ucapku kemudian. 

Mas Fatih menghela nafas, berat. 

"Aku mengerti perasaanmu, aku paham, kau masih marah pada beliau. Tapi bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandungmu.

Setiap orang tua, pasti menyayangi anaknya. Hanya saja, cara mereka berbeda. Ada yang menunjukkan cinta dengan kasih sayang, ada pula dengan cara kekerasan. Tapi intinya sama, mereka menyayangi kita. 

Mungkin, ayah tak tahu bagaimana cara mengungkapkan cinta. Dengan kekerasan, beliau berfikir kau akan terjaga. Jangan selalu berfikir buruk tentangnya." 

Aku masih diam, satu sisi hati mengiyakan, tapi sisi lain tetap saja enggan. 

"Dik, kamu beruntung memiliki ayah. Dari pada aku, yang tak tahu siapa ayahku." 

Aku menoleh demi mendengarkannya. Sungguh, selama ini aku tak pernah tahu dan tak peduli tentang masa lalunya. Yang aku tahu, dia yatim piatu. Itu saja. 

"Ibu tak pernah bercerita tentang ayah. Saat kutanya, dia bilang ayahku sudah tiada. Tapi, dari cerita para tetangga aku tahu, ibu diperkosa. Saat diminta tanggungjawab, laki-laki itu malah pergi dari rumahnya, tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Kami tak tahu ayah dimana.

Menjalani hidup sebagai singel parents itu tidak mudah. Belum lagi dengan gunjingan masyarakat sekitar. Ibu membesarkan aku dengan cara kekerasan, seperti yang ayahmu lakukan. Aku baru paham setelah aku dewasa, bahwa ibu menahan kesakitannya seorang diri. Karena nenekku, juga tak mau mengakuiku sebagai cucu. Bahkan sampai ibu tiada, nenek tak datang. Dia masih malu, dia menganggap ibu adalah aib bagi keluarga besar." 

Tak terasa, air mataku mengalir. Aku baru tahu tentang kisahnya, tentang keluarganya. 

Selama ini, cukup bagiku bahwa kami baik-baik saja. Dia baik padaku, dia mau menerimaku. Bagiku, itu sudah nikmat yang luar biasa. 


*** 


Di atas kasur yang tipis itu, tubuh ringkihnya tak berdaya. Kulitnya hitam pekat, wajahnya pucat. Mata itu menatapku lekat. 

"Nduk ..." Suaranya terdengar parau, menahan buliran bening yang memaksa keluar dari sudut matanya. 

Aku mendekatinya, dia memintaku duduk di dekat bahunya. 

Hatiku bergolak, menahan sesak yang tiba-tiba terasa pengap. Seolah ruangan ini kekurangan pasukan oksigen, padahal pintu dan jendela sudah terbuka lebar. 

"Ayah kangen ..." Kalimat itu keluar begitu ringan ketika aku mencium tangannya. Dia menarikku ke dalam pelukannya, dan mendekap erat tubuhku. 

Dadaku berguncang, air mata mengalir tak bisa kutahan. Untuk pertama kalinya, aku merasakan kehangatan seorang ayah, ayah yang selama ini yang kupikir hanya bisa marah. 

Tangisku pecah. Melebur bersama sesal, bahagia, dan syukur yang kuat biasa. 

Benar kata mas Fatih, kita tak bisa memilih untuk dilahirkan dari orang tua seperti apa. Tapi kita bisa menentukan, akan menyayangi mereka dengan cara seperti apa. 

Untuk kemudian dijadikan pengalaman, bagaimana kita bersikap pada anak cucu kelak. 

Karena sejatinya, cinta antara anak dan orang tua, adalah ikatan yang tak bisa dilepas dengan pedang setajam samurai sekalipun. Sebesar apapun kita marah, doa mereka adalah jalan kebahagiaan bagi anak cucunya, sekalipun kita tak pernah tahu, kapan mereka meminta pada Sang Maha. 


End 


Jember, 23 Januari 2021

Posting Komentar untuk "Ayah "

TANPA STATUS
YANG TERLUPA